Warisan Samar: Perawatan Memori Kolonial di Kota Tua Jakarta

Di Kota Tua Jakarta - Warisan, Memori

Meskipun saya telah menjalani sebagian besar hidup saya di Indonesia sejak lahir, saya pribadi merasa agak sulit untuk menemukan jejak-jejak kolonialisme Belanda yang sesungguhnya, mengingat periode yang panjang selama setidaknya tiga abad sejarah Indonesia ditulis di bawah kekuasaan kerajaan Belanda. Bahkan di jantung ibu kota negara, Jakarta, kota ini secara keseluruhan memancarkan kurangnya warisan kolonial yang terawat dengan baik; warisan yang saya anggap jarang ditemukan dan hanya terintegrasi secara sporadis di seluruh kota - tidak sedikit pun secara arsitektural.

Jakarta Kota Tua (secara harfiah diterjemahkan menjadi 'Kota Tua' Jakarta dalam bahasa Inggris) adalah sebuah kawasan bersejarah yang terletak di pusat kota Jakarta dan memiliki sejumlah situs warisan budaya. Kawasan pusat kota Kota Tua memiliki sejarah yang berasal dari masa pra-kolonial, karena merupakan pelabuhan perdagangan utama yang terkenal dengan perdagangan rempah-rempahnya pada abad ke-14 dan ke-15. Kota ini ditaklukkan oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda pada awal abad ketujuh belas dan kemudian berganti nama menjadi Batavia. Batavia berkembang menjadi pusat vital Hindia Belanda, terutama dengan beragam etnis yang terus bertambah.

Pemandangan udara Kota Tua yang menyatu dengan kota metropolitan Jakarta yang lebih luas (Foto oleh Lee Jason, 2021)

Pengelolaan warisan pascakolonial Indonesia yang bertahan lama telah secara progresif memengaruhi memori urban Kota Tua Jakarta-atau dikenal sebagai Kota Tua dalam bahasa Indonesia-serta representasi budayanya. Mengingat keberadaannya di era kolonialisasi Belanda, relevansi kontemporer Kota Tua terus diadaptasi saat ini menjadi tempat rekreasi, karena Kota Jakarta bekerja dalam kerangka pariwisata dan hiburan untuk memelopori upaya revitalisasi kawasan bersejarah ini. Properti bersejarah yang bobrok dimodernisasi dan diadaptasi menjadi berbagai tempat seperti toko, kafe, dan galeri. Sebagai ukuran kemajuan, pemerintah mengajukan Kota Tua sebagai situs Warisan Dunia UNESCO, yang pada akhirnya ditolak oleh UNESCO karena dianggap tidak memiliki keaslian.

Dalam mengelola warisan kolonial dengan lokus Kota Tua sebagai distrik bersejarah, perkembangan kota Jakarta dapat terlihat jelas. Kawasan ini berkontribusi pada produksi dan transformasi identitas modern bagi Jakarta dan penduduknya.

Dengan menyajikan pariwisata dengan tontonan kolonial yang dapat dikonsumsi, pergeseran dari lingkungan pascakolonial menjadi tempat yang produktif dan kompetitif untuk ekonomi perkotaan dapat mengindikasikan penindasan terhadap kenangan kota yang tersimpan di masa lalu kolonial kota ini. Hal ini juga menyinggung erosi warisan tak benda di seluruh Kota Tua yang tidak dilestarikan oleh pemilik pribadi dari bangunan-bangunan baru. Dalam konteks ini, ketika keputusan mengenai rehabilitasi dan reintegrasi arsitektur kolonial dan warisan kota perlu dibuat, pengorbanan untuk mempromosikan Kota Tua sebagai situs budaya yang dinamis - sebagai bagian dari skema pariwisata global yang lebih besar - dapat dilakukan. Meninjau proses avant-garde dalam mewujudkan identitas pascakolonial yang sesuai dengan globalisasi ini dapat mengilustrasikan sebuah analisis pendekatan Jakarta terhadap pembangunan kota di dunia yang semakin maju dan tak terbatas.  

Seiring berjalannya waktu, kemunduran Batavia semakin terlihat jelas, dan akhirnya Batavia jatuh ke tangan tentara Kekaisaran Jepang pada tahun 1942. Kerajaan Belanda secara resmi menyerah pada pendudukan Jepang di Indonesia dan Batavia kemudian berganti nama menjadi Jakarta. Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada bulan Agustus 1945 di akhir Perang Dunia Kedua, dengan Jakarta ditunjuk sebagai ibu kota Republik Indonesia yang baru saja berdiri.

Saat ini, sisa-sisa kekuasaan VOC di Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18 hanya sedikit yang masih dipertahankan, karena hanya beberapa bangunan kolonial yang dipilih untuk bertahan di Kota Tua. Setelah Perang Dunia Kedua, tantangan tambahan untuk melestarikan peninggalan dari masa kekuasaan Belanda, selain menyatukan kembali Indonesia-sebuah negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau-terbukti terlalu sulit.

Setelah dekolonisasi negara tersebut, arsitektur warisan kolonial sering kali kurang diprioritaskan dan kurang dihargai, sehingga memberi jalan bagi pembangunan baru yang beraneka ragam dan modern. Rangkaian pembangunan baru ini mencakup bangunan modern seperti gedung-gedung bertingkat, dan bangunan monumental, serta bangunan lain yang terutama difokuskan untuk berkontribusi dalam menumbuhkan ekonomi negara berkembang dan kemampuan untuk menarik investasi asing-seperti pusat perbelanjaan yang sekarang banyak terdapat di Jakarta saat ini. Fenomena ini menandai keinginan negara ini untuk segera meninggalkan masa-masa penjajahan dan berkembang secepat mungkin. Tren ini semakin terlihat dalam ambiguitas sejarah Jakarta yang terlihat, karena jejak-jejak bangunan kolonial tertutupi oleh wajah modern yang baru dari keinginan untuk membangun kembali negara ini menjadi pesaing yang relevan di pasar internasional.

Namun, akhir-akhir ini, Kota Tua telah mengalami rentetan proyek revitalisasi yang mencoba untuk memuliakan warisan kolonial sebagai daya tarik utama daerah tersebut-seolah-olah merupakan kebangkitan kembali apresiasi terhadap masa lalu yang malang di negara ini. Mengingat upaya untuk menghidupkan kembali Kota Tua sebagai pusat budaya peninggalan Belanda, upaya-upaya ini sebagian besar dapat dianggap sebagai upaya untuk mengubah objek dan situs di Kota Tua menjadi properti yang dapat dipasarkan dalam skema komersial yang lebih luas. Skema ini bertujuan untuk menarik wisatawan lokal dan internasional dengan menampilkan peninggalan kolonial Hindia Belanda. Mengedepankan gagasan tentang hasil komersial yang lebih besar, lebih cepat dan lebih baik, skema ini pada dasarnya adalah upaya untuk memfasilitasi komodifikasi segala sesuatu di Kota Tua, yang pada akhirnya akan mewujudkan kawasan tersebut sebagai objek wisata. Gagasan ini juga dibahas oleh Guy Debord dalam bukunya yang terkenal 'Society of the Spectacle' (atau Lingkungan sosial tontonan dalam bahasa Prancis), menggambarkan kondensasi kehidupan yang intens saat terungkap sebagai 'akumulasi kacamata yang luar biasa'.

Lapisan-lapisan warisan kolonial yang telah mengalami pembusukan dan pengabaian yang hadir di Kota Tua saat ini, dengan isu-isu yang mendasari ingatan kolektif kota yang kabur, menunjukkan gagasan tentang ingatan kolektif yang ambigu yang melibatkan wacana warisan kota. Penelitian ini diawali dengan mendefinisikan eksplorasi awal yang diperoleh dari investigasi terhadap implikasi masa kini yang berakar pada identitas kota yang berkembang di Kota Tua.

Dipengaruhi oleh ingatan akan sejarah kolonial yang panjang, Kota Tua memiliki hubungan simbiosis dengan fungsi-fungsi performatif dari ingatan dan sejarah di Jakarta. Membahas kemunculan kembali sejarah dan ingatan dalam wacana perkotaan, diikuti dengan membahas dan mengklarifikasi Tempo Doeloe bergerak untuk menilai dampak perkotaan dari konstruksi nostalgia Tempo Doeloemelihat bagaimana hal tersebut menjadi fondasi yang mendorong niat luas dalam komersialisasi warisan kolonial Kota Tua.

Upaya revitalisasi di masa lalu terus membentuk fenomena memori pascakolonial yang samar-samar di Kota Tua. Sandingan antara area komersial dengan prioritas tinggi dengan situs-situs yang membusuk dan terabaikan di Kota Tua menjadi contoh proyek revitalisasi yang didorong oleh pasar di Kota Tua yang telah berkontribusi pada pengaburan yang semakin meluas terhadap ingatan perkotaan di kawasan tersebut.      

Memori dan sejarah terkait erat ketika para arsitek berpikir tentang bagaimana membangun masa depan dengan melihat masa lalu. Ketika para arsitek menyadari kemungkinan untuk memindahkan ke dunia nyata apa yang telah mereka bayangkan dalam ingatan mereka, maka ingatan perkotaan dan sentimen yang terkait dengannya akan muncul; apakah itu keinginan untuk melupakan atau melanjutkan ingatan perkotaan yang sudah ada.

Dengan kecenderungannya untuk mengkomodifikasi segala sesuatu yang mengelilingi warisan kolonialnya, Kota Tua mengisolasi dan mereformasi dirinya menjadi sebuah teater tontonan memori-kolonial yang ditujukan untuk komersialisasi yang cepat.

Pertanyaan utama di sini adalah; Bagaimana upaya pelestarian masa lalu dan masa kini mereduksi warisan kolonial yang kompleks di Kota Tua menjadi sebuah situs wisata, yang menghasilkan sebuah kenangan urban yang ambigu?

Perlunya logika dan metodologi yang sensitif dan hati-hati dalam memilih cara untuk merepresi - atau merangkul - warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Belanda menjadi cerminan dari pendekatan yang telah dan sedang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Sikap ini bergema ke penduduk kota, secara bertahap memungkinkan respons kolektif terbentuk terhadap masalah warisan dan memori kota ini.

Munculnya Kembali Warisan dan Memori

"Mengunjungi kembali masa lalu akan sangat membantu sejarah. Jika para sejarawan dapat kembali ke masa lalu dan melihat apa yang terjadi dan berbicara dengan orang-orang yang hidup pada masa itu, mereka akan memahaminya dengan lebih baik. "

-David Lowenthal

Kerinduan nostalgia akan masa lalu telah lama menjadi keinginan yang disukai. Daya tarik perjalanan waktu menawarkan sekilas tentang reinkarnasi, karena sejarah yang hilang secara permanen tampaknya tidak dapat ditoleransi di zaman sekarang ini. Komunitas-komunitas warisan mendambakan sebuah metode untuk memulihkan masa lalu, mencari cara untuk mendapatkan kembali atau menghidupkan kembali pengalaman dengan keyakinan bahwa suatu bentuk mekanisme dapat memberikan rasa kedekatan. Kenangan selalu bertahan dan memiliki potensi untuk dipulihkan. Agar dapat dibawa kembali, hal-hal tersebut harus dilestarikan terlebih dahulu. Mereka yang merindukan untuk melihat masa lalu sering mencampuradukkan kedua proses tersebut.

Dengan menggunakan konteks Kota Tua sebagai perangkat mnemonik, kami berharap dapat berkontribusi pada wacana warisan dan ingatan yang lebih luas dengan mengeksplorasi pemahaman tentang warisan dan ingatan dalam relevansi pascakolonial yang maksimal dengan konteks Kota Tua.

Pembangunan Kota Tua sebagai sebuah tempat merepresentasikan berbagai aktivitas material, representasional dan simbolis dari pelestarian nostalgia. Hal ini menunjukkan pendekatan yang dilakukan oleh individu-individu yang berinvestasi di tempat tersebut, memungkinkan adanya kenangan yang tidak terbelenggu secara kolektif karena menginvestasikan diri mereka dalam nostalgia tempat tersebut. Cagar budaya adalah fenomena budaya, dan bukan hanya subjek dialog politik atau ekonomi dalam proses komersialisasi Kota Tua. Dengan tidak menekankan nilai yang melekat pada pusaka, objektivitas pusaka tersebut secara aktif dirusak. Jika pusaka dibingkai sebagai alat pertunjukan, persepsi kontemporer tentang pusaka akan terus dinegosiasikan dalam konteks kebutuhan masa kini. Proses ini memungkinkan untuk menstabilkan atau menggoyahkan isu-isu identitas, ingatan, dan rasa tempat, karena pusaka memiliki konsekuensi material dan sosial.

Fenomena tren nostalgia kolonial yang dibangun seperti tempo doeloemenunjukkan kondisi modern; percepatan globalisasi yang memicu nostalgia. Laju kehidupan yang meresahkan yang dibawa oleh globalisasi mempercepat konstruksi nostalgia-yang semakin lama semakin menyebabkan perasaan tercerabut. Identitas perkotaan ditulis dan ditulis ulang dengan kecepatan yang sangat radikal, dengan 'globalisasi budaya ingatan' yang dipercepat oleh cepatnya produksi bentuk-bentuk representasi ingatan. Masa lalu yang berbelit-belit direduksi menjadi produk warisan yang dapat dikonsumsi, sehingga memunculkan budaya warisan yang terkomodifikasi, sebuah 'sentimentalisme jenis baru' yang diadopsi oleh masyarakat dan budaya.

Kota Tua hadir bukan sebagai entitas tunggal tetapi sebagai tempat warisan. Sebaliknya, sebagai lingkungan pusat kota, Kota Tua merupakan jaringan dari tempat-tempat tersebut, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Peta Kawasan Kota Tua di Jakarta yang ditumpangsusunkan (Foto: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Jakarta, 2008)

Meskipun sebuah tempat atau ruang tunggal memiliki potensi laten untuk memancing ingatan, jaringan tempat yang terkumpul memiliki potensi yang lebih besar untuk menyatukan kembali ingatan kolektif perkotaan. Jaringan tempat-tempat cagar budaya yang terkait, terutama yang diatur secara tematik seperti Kota Tua dengan peninggalan kolonial Belanda, memiliki potensi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan pada tingkat yang lebih mendalam. Orang-orang berinvestasi di tempat-tempat yang memiliki makna sosial dan budaya, dan sejarah lanskap kota dapat memberikan kerangka kerja untuk menghubungkan makna-makna tersebut dengan kehidupan perkotaan kontemporer.

Tempo Doeloe dan Wisata Warisan Kolonial di Kota Tua

Sangatlah penting untuk terlebih dahulu membahas frasa dari konstruksi nostalgia 'tempo doeloe'sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang secara harfiah diterjemahkan menjadi 'masa lalu' dalam bahasa Inggris. Tempo doeloe pada dasarnya adalah sebuah fokus nostalgia yang mengenang 'masa lalu yang indah' dari kehidupan kolonial di Hindia Belanda. Hal ini mengilhami gagasan untuk menikmati aspek-aspek tertentu dari kehidupan ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Belanda.

Saat ini, ada pengulangan kiasan tentang 'tempo doeloe' Meningkatnya popularitas gaya kuasi-kolonial... Orang Indonesia sangat menyukai tempo doeloe.

-Yatun Sastramidjaja

Sebuah paradoks yang mencolok muncul dari konstruksi nostalgia ini; paradoks di sini adalah bahwa mereka yang terjajah mengenang, dengan cara yang positif, cara-cara dan kualitas hidup di masa lalu di bawah penjajahan. Masa lalu penjajahan selalu ditekan dalam sejarah resmi Indonesia. Sejak awal kemerdekaan negara kepulauan ini, Indonesia telah mengalami pembungkaman sejarah kolonial secara pascakolonial. Masa lalu kolonial Indonesia secara konsisten dianggap sebagai masa lalu yang memalukan, karena negara yang begitu besar-negara kepulauan terbesar di dunia dalam hal luas wilayah dan jumlah penduduk-berada di bawah kekuasaan kekuatan Barat selama lebih dari tiga abad, Indonesia harus melihat dirinya sendiri dengan cara yang berbeda.

Tempo doeloeyang menggugah membawa wacana yang memberikan keterlibatan mnemonik bagi masyarakat Indonesia untuk meromantisasi cara hidup dari masa lalu yang lebih kompleks dan merepotkan. Terlihat seperti ini, dalam kedoknya, tempo doeloe cukup bebas dari rasa bersalah, bagi orang Indonesia untuk membenamkan diri. Sastramidjaja mencatat bahwa "Tempo doeloe akan terus dihantui oleh momok kolonialisme selama masalah-masalah yang tidak menyenangkan masih belum terselesaikan.

Konsensus tidak tertulis adalah bahwa jejak masa lalu kolonial yang memalukan harus dilupakan dari ingatan kolektif. Sebaliknya, lebih baik berfokus pada insiden-insiden nasional yang terkenal, seperti saat para pejuang kemerdekaan mengklaim kemenangan gemilang atas penjajah. Saat ini, realitas kolonialisme yang bermasalah tidak secara konsisten ditampilkan dengan cara yang tulus dan sesuai kenyataan. Dalam komersialisasi dan pemasaran Kota Tua masa kini, realitas kolonialisme yang agak sulit terus menerus dikecilkan, jika tidak diminimalkan. Penghilangan secara selektif warisan kolonial yang faktual menghasilkan kesenjangan untuk gaya tempo doeloe yang lebih mudah dibentuk, untuk tempo doeloe mengubah mantan penjajah dan yang dijajah menjadi 'pengamat yang tidak bersalah' dalam sejarah.

Memori kolektif mencatat cara di mana kelompok-kelompok sosial secara konstan terlibat dalam proses "penempatan" di mana kolektif sebagian dibentuk oleh pengalaman kolaboratif tentang tempat, sehingga menjadikannya sebagai komponen kunci dari memori kolektif. Lanskap sering dianggap berfungsi sebagai arsip sejarah dan pengalaman manusia; hal ini mungkin menjelaskan "daya tarik" situs-situs ingatan, karena tindakan perjalanan fisik dapat dilihat sebagai pengganti sesuatu yang tidak dapat kita lakukan: melakukan perjalanan kembali ke masa lalu itu sendiri.

Pengalaman pribadi seseorang akan suatu tempat memiliki potensi khusus untuk mengekspresikan bagaimana masa lalu dipahami di masa kini. Lebih jauh lagi, pengalaman individu tersebut mungkin lebih bersifat umum daripada pribadi, pengalaman tersebut dapat dibagikan oleh orang lain yang mengalami tempat yang sama-ini adalah ingatan kolektif.

Museum Fatahillah, Museum Sejarah Jakarta (Foto: CEphoto, Uwe Aranas, 2015)
Pengunjung Indonesia berpose untuk berfoto dengan seorang pria yang mengenakan kostum di luar Museum Sejarah Jakarta (Foto oleh Adek Berry/AFP, Getty Images, 2015)

Taman Fatahillah Museum-alun-alun pusat di Kota Tua, daya tarik utama turis lokal dan internasional. Awalnya, museum ini dibangun pada awal abad ke-18 sebagai Stadhuis (balai kota Belanda) di Batavia. Saat ini, alun-alun telah dinormalisasi sebagai ruang publik untuk berbagai tujuan; digunakan oleh berbagai kalangan, mulai dari wisatawan umum, pengunjung piknik, kerumunan pejalan kaki, hingga pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai macam barang dan jajanan kaki lima yang populer.

Museum bersejarah ini juga telah mengalami proses apropriasi dalam persepsi masyarakat umum, sehingga menjadi tuan rumah perayaan publik yang populer, seperti pengamatan kembang api pada Malam Tahun Baru.

Kondisi kontemporer saat ini adalah hal yang normal bagi masyarakat umum untuk terlibat dalam atraksi warisan kolonial yang menyenangkan, seperti mengenakan pakaian khas wanita Belanda pada masa itu atau berdandan seperti seorang pejabat dari kerajaan Belanda-dengan riang menodongkan senapan kepada para penonton.

Untuk menggambarkan kontras yang mencolok dari apa yang terjadi di daerah ini ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Belanda, gambar-gambar di bawah ini mengilustrasikan 'penggantungan dua orang di depan balai kota Batavia' dan seorang pria Indonesia yang dipaksa bekerja keras untuk menyirami jalan-jalan di Batavia di tengah-tengah cuaca tropis di Indonesia. Di antara kemerdekaan Indonesia dan perkembangan pesat kota Jakarta pascakolonial, jukstaposisi yang ditampilkan menggambarkan bagaimana alun-alun Fatahillah hampir tidak memiliki jejak-jejak penghematan yang tersisa di ruangnya, atau rasa kenangan yang meresahkan. Jukstaposisi ini menawarkan wawasan tentang fenomena ini yang saya ceritakan sebagai masalah ingatan dan identitas perkotaan yang samar di Kota Tua.

Penggantungan dua orang pria di depan Balai Kota Batavia, yang sekarang dikenal sebagai Museum Fatahillah, (Penulis Tidak Dikenal, antara tahun 1895 dan 1925)
Seorang pria Batavia menyirami jalanan (Foto oleh ullstein bild, Getty Images, 1920)

 Tempo doeloe Wacana berkembang melalui pertukaran antara mengingat dan melupakan, tergantung pada kewajiban komunitasnya. Hal ini merupakan salah satu pendukung utama dari isu identitas dan ingatan yang samar-samar di Kota Tua. Tentang percepatan nostalgia akibat proses globalisasi yang cepat, tempo doeloe telah merestrukturisasi dirinya sendiri secara kontemporer dengan kecepatan yang tidak mudah, untuk menyesuaikan diri dengan agenda komersial Kota Tua. Kerinduan sentimental akan tempo doeloe bukan sekadar 'optimisme ingatan'.

Warisan kolonial Kota Tua secara substansial menginformasikan warisan bangunannya, menginisiasi lanskap kota pasca-kolonial yang mengakomodasi dirinya sendiri di masa kini. Ambivalensi warisan kolonial Kota Tua mendasari penerimaan bahwa 'arsitektur yang diproduksi di bawah pemerintahan kolonial, menurut definisi, merupakan "warisan yang tidak sesuai". Penggunaan kembali dan pengambilalihan kembali warisan dan arsitektur kolonial, membuktikan ambiguitas identitas kota Kota Tua, karena masa lalunya yang penuh masalah tidak dapat mengimbangi kecepatan komersialisasi yang menuntutnya. Disonansi yang dihasilkan oleh konteks kolonial terhadap narasi kontemporernya, dengan nyaman mempertahankan ambivalensinya melalui tempo doeloe konstruksinya menyaring sejarah menjadi simbol-simbol identitas yang sebagian besar dibuat oleh tuntutan komersial kontemporer. Dengan demikian, narasi warisan kolonialnya hanya mengungkapkan dirinya sendiri secara selektif, menawarkan dirinya sendiri dalam pecahan-pecahan yang dangkal, membersihkan masa lalu kolonial dan mengabaikan gerakan komposit sejarah secara luas.

Tentu saja, perjalanan waktu dan keinginan Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah membuat karakter historis Batavia sedikit demi sedikit menghilang. Saat ini, kiasan-kiasan seperti tempo doeloe dan agenda-agenda industri pariwisata Kota Tua mendorong kembali keinginan untuk menghidupkan kembali kecemerlangan Batavia. Meskipun dangkal, hal ini mengisyaratkan bangkitnya kepekaan terhadap warisan kota. Lalu, mengapa hal ini tidak diterjemahkan ke dalam perbaikan kondisi perkotaan Kota Tua dan Jakarta secara keseluruhan, dan bukannya hanya mengejar agenda komersial secara selektif? Dalam sebuah studi kasus di Jakarta, Sugiantoro menyatakan bahwa di Kota Tua, tujuh puluh delapan persen penggunaan lahan adalah untuk komersial, sementara penggunaan untuk hunian hanya lima persen, namun sebagian besar hunian berada di kampung-kampung kota dengan layanan infrastruktur yang buruk.

Karena pariwisata kini berada di garis depan dalam pengembangan Kota Tua, sebagai sebuah situs cagar budaya, Kota Tua membuka diri tidak hanya bagi masyarakat yang akrab dengan masa lalunya, namun juga bagi mereka yang tidak memiliki kedekatan dengan cagar budayanya. Hal ini pada akhirnya melemahkan dan mengaburkan rasa memori atau identitas kota yang asli. Masalah Kota Tua muncul dari menghadapi warisan budaya yang berakar dari obsesi yang berkembang untuk mempromosikan benda-benda yang diinginkan dan gaya hidup dari masa lalu kolonial yang penuh masalah. Mengisolasi diri sebagai provinsi khusus para korban sambil berharap dapat berkontribusi pada kota induknya, Jakarta, sebagai zona komersial bukanlah sebuah tindakan yang chauvinistik.

Kegiatan kapitalistik Kota Tua secara sengaja diorientasikan pada perkembangannya. Hal ini melahirkan kemajuan teknologi dan organisasi, yang pada gilirannya dapat merevolusi atau mengubah corak secara radikal, sehingga mempengaruhi proses fabrikasi tempat atau ruangnya.

Dalam lanskap pusaka, ingatan akan suatu tempat akan memampatkan asosiasi manusia dengan lingkungan binaan dan alamnya. Hal inilah yang memungkinkan masyarakat, terutama yang terkait dengan tempat pusaka, untuk membangun dan menilai masa lalu mereka. Bagi mereka yang biasanya dekat dengan sejarahnya, tempat ini bertindak sebagai situs nostalgia, tempat untuk mengulang kembali ingatan sampai batas tertentu. Selain itu, tempat-tempat ini juga memiliki potensi untuk mengungkapkan diri mereka sendiri kepada 'orang luar', yang tertarik dengan adaptasi masa kini dari warisannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga integritas identitas dan memori perkotaan tempat tersebut. Ketika, seperti Kota Tua, pergeseran cepat dalam identitasnya dapat dirasakan melalui perubahan penggunaan dan popularitasnya, maka akan tercipta persepsi yang tidak utuh mengenai warisan budaya tersebut.

Presiden Sukarno (1945-1966) dan Presiden Soeharto (1967-1998) sangat ingin mengubah persepsi tentang Indonesia di masa kolonial. Jakarta, sebagai ibu kota negara yang baru saja merdeka, dibayangkan untuk membangun lanskap kota yang mengedepankan 'modernisasi yang berakar pada tradisi'. Di bawah pemerintahan Sukarno; bangunan-bangunan modern dan monumen-monumen megah, stadion nasional, yang memuliakan perjuangan kemerdekaan yang berat. Di bawah Soeharto; gedung pencakar langit, jalan raya, dan pusat perbelanjaan, sebuah periode yang dinilai oleh karakter ekonomi yang berkembang dan semakin menghapus warisan kolonial.

Seperti banyak kota pascakolonial di Asia Tenggara, sisa-sisa masa lalu kolonial diperlakukan sebagai 'peninggalan yang tidak relevan yang dengan cepat menyerah pada kekuatan modernisasi yang tampaknya tak tertahankan'. Museum-museum baru di Kota Tua diperuntukkan untuk mempromosikan dan merepresentasikan budaya nasional yang baru, yang mampu menyajikan narasi baru apa pun yang ingin didorong oleh pemerintah, alih-alih historisitas peninggalan kolonial.

Model 'Hotel Banteng' dengan Presiden Sukarno (kedua dari kiri), (Penulis tak dikenal, 1961)

Namun, setelah periode pengurangan atau seringnya penghapusan warisan kolonial, untuk memajukan industri pariwisata, properti-properti yang menguntungkan di Kota Tua yang berfokus pada kontribusi langsung terhadap perekonomian dirancang untuk mewakili arsitektur abad ketujuh belas dan kedelapan belas di Batavia masa lalu. Hal ini dilakukan untuk 'berkontribusi pada rehabilitasi ekonomi di wilayah Jakarta yang sedang berkembang melalui penghidupan kembali warisan sejarah dan budaya kota tua... membangun pola baru dalam pembangunan kota yang dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia'. Segera, hal ini dianggap sebagai fitur yang menarik bagi Kota Tua, khususnya perpaduan unik antara masa lalu dan masa kini yang saling bertentangan.

Pada tahun 1992, Jakarta berkolaborasi dengan Yayasan Pelestarian Budaya Bangsa (Yayasan Pelestarian Kebudayaan Nasional). Di sini, Kota Tua diletakkan sebagai fondasi untuk 'Taman Pusaka Jayakarta' yang rencananya akan membangun kembali Jakarta yang jaya, alih-alih merestorasi kota kolonial yang lama. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan Jakarta pada saat itu sebuah situs atraksi wisata yang sangat menarik dan dikagumi secara internasional. Meskipun proyek ini berusaha untuk membangkitkan matriks Batavia, kemegahan kota kolonial tua di masa lalu, proyek ini juga berharap untuk menciptakan identitas sejarah baru yang istimewa. Nama 'Taman Pusaka Jayakarta' menyiratkan bahwa fabrikasi identitas kota yang baru ini didasarkan pada warisan kolonialnya, yang diposisikan sebagai sesuatu yang megah, seolah-olah berasal dari negeri yang jauh, bukan penduduk asli, sebuah tambahan yang asing bagi lanskap Indonesia. Dirangkum sebagai taman hiburan untuk konsumsi turis, ironisnya, identitas kota yang dibuat-buat ini masih ada di Kota Tua saat ini.

Atraksi yang Berkembang di Lingkungan yang Membusuk

Teater Kenangan: Peta Tempat Wisata Warisan Budaya di Kota Tua (Peta oleh Astrid Prasetianti, Foto oleh iDiscover, Urban Discovery Ltd, 2018)

Keengganan Kota Tua untuk merangkul warisan kolonialnya sendiri dengan cepat luntur ketika ia memiliki kesempatan untuk mengangkat dirinya sendiri dalam pandangan industri pariwisata. Hal ini merupakan tren yang mirip dengan Kota Tua Jakarta, negara tetangga Singapura dan Malaysia mengakui bahwa revitalisasi warisan kolonial memiliki manfaat yang melekat, 'tersedia sebagai panggung untuk praktik konsumsi dan, tentu saja, sebagai tontonan yang dapat dikonsumsi' dan membuka mata para pejabat akan potensi untuk memasuki segmen kelas atas pasar pariwisata internasional. Oleh karena itu, Batavia akhirnya dipulihkan dan dengan demikian identitas  Jayakarta dengan cepat dicopot, seiring dengan berbagai perubahan dalam pemerintahan Jakarta.  

Situs-situs yang telah rusak - meskipun digunakan kembali secara adaptif seperti yang banyak terjadi di Jakarta dan Indonesia, sebagai kios-kios sementara atau pedagang pasar. Situs-situs ini terus menghindari pandangan wisatawan, terutama yang berasal dari luar negeri dan menimbulkan kontras yang mencolok antara situs-situs cagar budaya di Kota Tua dengan situs-situs yang mungkin lebih sedikit memiliki cagar budaya.

Sebuah pemandangan yang umum dijumpai di seluruh Kota Tua: Kios-kios sementara dan darurat di depan bangunan yang ditinggalkan (Getty Images)

Memprogram Kain Kota Tua di Kota Tua

Kota vernakular terkait erat dengan warisan kota dan ingatan, tradisi, serta karakternya. Pembentukan identitas tempat diinformasikan oleh identitas dan praktik individu dan komunitas. Ini adalah tempat yang dikembangkan oleh dan untuk warganya, dan pada gilirannya, mencerminkan strata sosial dan budaya kota.

Penekanan pada pemulihan nilai finansial bangunan mengarah pada pelestarian warisan budaya yang dikomersialkan yang berfokus pada pemujaan terhadap vernakular. Pada dasarnya, mengecat situs-situs ini dengan motif warisan budaya pada akhirnya berfungsi sebagai tindakan vandalisme terhadap tatanan kota, melalui kondensasi kacamata warisan budaya. Warisan tersebut ada dalam ketidaktahuan akan kehidupan sehari-hari masyarakat dan komunitas yang mengelilinginya, dan hanya membenarkan keberadaannya dengan menentukan nilai finansial dan potensinya.

Pelestarian pusaka yang berbasis estetika dan atau didorong oleh konsumsi lebih menekankan nilai yang lebih besar pada struktur fisik, daripada kehidupan yang terjadi di dalam dan di antara struktur tersebut. Ketika efisiensi ekonomi diadu dengan nostalgia, sering kali dibenarkan untuk mengganti lingkungan arsitektur kuno sebuah kota dengan perusahaan baru yang modern yang dianggap lebih layak untuk lanskap wisata.

"Warisan, atau simulakrum warisan, dapat dimobilisasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam perlombaan antar tempat."

Melihat sejarah Kota Tua yang penuh dengan sejarah tentang Batavia dan Jayakarta, terlihat jelas bahwa pendekatan masa kini yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab adalah dengan memamerkan warisan budaya, sosial dan arsitekturnya, serta mengedepankan kenyamanan bagi para wisatawan. Meskipun Kota Tua adalah situs yang semakin populer bagi wisatawan domestik dan internasional, Kota Tua masih menyandang stigma sebagai kawasan pusat kota yang kumuh dengan tingkat kriminalitas yang tinggi dan masalah sosial ekonomi yang substansial. Terlepas dari wacana terobosan pembangunan perkotaan lokal yang berkelanjutan untuk membantu melestarikan warisan kolonial, tampaknya satu-satunya pilihan untuk 'memperbaiki' kota ini adalah membuat situs-situs warisan menjadi semenarik dan semenarik mungkin; menggusur penduduk lokal, mengkomodifikasi ruang-ruang duniawi.

Apa yang biasanya terjadi dalam turisme adalah penciptaan ruang-ruang yang disterilkan dan terisolasi, karena dimaksudkan untuk mengurangi jejak ancaman perkotaan, mengintensifkan penjajaran dengan kekacauan dan pembusukan kota, yang mungkin mengakibatkan pengasingan dan penyebaran praktik-praktik, kenangan, dan identitas lokal. Tren popularitas Kota Tua yang terus meningkat pada akhirnya dapat menjadi pertanda akan matinya situs tersebut, selama proses revitalisasi Kota Tua.

Menuju Respons Pascakolonial yang Lebih Mempertimbangkan Warisan Kota Tua

Dalam konteks pascakolonial Kota Tua, nostalgia kolonial tidak memiliki definisi yang pasti karena terus dipengaruhi oleh matriks mengingat dan melupakan. Narasinya berfluktuasi, seperti yang dicontohkan oleh keinginan untuk kembali ke Batavia atau keinginan untuk membangun kota Jayakarta yang lebih besar. Nostalgia kolonial, sebaliknya, mencerminkan cara yang beraneka ragam dalam mendekati masa lalu. Interaksi antara melupakan dan mengingat ini mendefinisikan nostalgia sebagai titik tolak untuk menilai 'status quo' suatu tempat atau ruang.

Ketika pusaka dipasarkan sebagai pengubah nilai Kota Tua yang telah dikomodifikasi, maka kontradiksi terhadap kesejarahan Kota Tua akan selalu ada. Identitas kota yang mendahului pemahaman warisan budaya menjadi konsep yang tepat untuk meningkatkan daya saing kota dalam menarik wisatawan dan juga investasi.

Warisan seperti apa yang paling menginspirasi kenangan masa lalu? Haruskah warisan budaya menjadi steril dan meninggalkan kesan yang selalu murni? Atau haruskah pusaka bersaing dengan dirinya sendiri, bahwa jejak masa lalu yang kompleks atau pusaka yang membuktikan perjalanan waktu sama pentingnya bagi kesinambungan ini? 'Masa lalu' yang telah dibentuk atau dihidupkan kembali baru-baru ini, bersama dengan masa lalu yang dinilai oleh waktu, menanggapi kriteria yang berbeda dan memberikan kesimpulan yang berbeda. Keputusan tersebut tidak hanya memengaruhi apa yang kita pilih untuk diingat dan disimpan, tetapi juga bagaimana kita membedakan antara masa lalu dan masa kini.

Dengan demikian, nostalgia tidak bersifat regresif maupun progresif. Nostalgia merupakan partisipasi budaya dan bukan substansi yang tetap, atau seperangkat sikap yang telah ditentukan. Meskipun pusaka kota dipengaruhi oleh globalisasi, namun secara konseptual tidak terbatas pada analisis biaya-manfaat yang menghasilkan pendapatan dan sederhana.

Pelestarian warisan kota pada dasarnya merupakan proses pembaharuan identitas kota, makna tempat kota, dan eksistensi kota. Arsitektur adalah penanda spasial yang terikat secara budaya yang memunculkan kesadaran tempat, yang mengharuskan kehadiran vernakular. Secara global, identitas kota disampaikan sebagai citra representatif suatu tempat, dengan tampilan lanskap kota yang menarik menjadi daya tarik universal.

Di Kota Tua, peninggalan masa lalu, baik yang masih utuh maupun yang sudah tidak utuh, atau yang hanya dapat dikenali dalam bentuk jejak-jejak, dapat ditemukan di seluruh kawasan ini. Namun, baru belakangan ini peninggalan-peninggalan tersebut dihargai. Karena menganggap remeh kerusakan, Kota Tua membiarkan peninggalan-peninggalan tersebut membusuk sesuai dengan tuntutan budaya, sosial, dan politik.

Arsitektur dan lingkungan binaan perkotaan berperan dalam pembentukan dan pengembangan identitas kota dan warganya. Untuk mendapatkan status kota kompetitif yang didambakan, gedung-gedung pencakar langit kontemporer dan proyek-proyek berteknologi tinggi dibangun di Jakarta. Kota Tua telah membangun dan membangun kembali dirinya sendiri, dan dalam prosesnya, mengasingkan kualitas vernakularnya dalam warisan arsitekturnya, menyesuaikan kota yang pada dasarnya untuk turis dan bisnis, dan bukan untuk masyarakatnya. Kontradiksi ini terjadi karena, meskipun kemerdekaan dikaitkan dengan melepaskan diri dari kekuasaan kolonial, warisan kota sering kali difokuskan pada pelestarian objek dan situs kolonial. Eksotisme arsitektur kolonial dan konstruksi nostalgia ruang kota Eropa-dan atau cara hidup lainnya-menciptakan identitas kota yang menarik, yang memikat wisatawan untuk menghabiskan uang di kota tersebut.

Penekanan pada warisan arsitektur yang luar biasa mungkin bertentangan dengan tatanan kota vernakular, yang lebih terkait erat dengan aktivitas ekonomi lokal. Pada saat yang sama, karena kota lebih didominasi oleh mega-proyek yang megah atau proyek revitalisasi, aktivitas ekonomi lokal menurun. Pola perkotaan yang lebih mengutamakan tontonan ini sering kali mengakibatkan terpinggirkannya warisan vernakular, baik secara budaya maupun dalam hal lingkungan fisik tempat kita beraktivitas.

'Dorongan untuk melestarikan' berasal dari tiga asumsi: bahwa masa lalu menginformasikan masa kini; bahwa sisa-sisanya sangat penting bagi identitas kita; dan bahwa sisa-sisa adalah aset yang rapuh dan menurun, yang kehilangannya dipercepat oleh perubahan yang cepat, sehingga masa lalu yang baru saja berlalu menjadi tidak dapat dipulihkan kembali.

Warisan tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang apolitis, kebutuhan untuk beralih ke pendekatan yang lebih hati-hati untuk merehabilitasi warisan yang terputus sudah dekat. Warisan adalah sumber daya yang kuat untuk 'menciptakan masa depan' dan untuk pengakuan tentang bagaimana rekonseptualisasi fundamental warisan ditempatkan secara unik tidak hanya untuk mengatasi klaim tentang identitas, leluhur, dan transmisi budaya, tetapi juga untuk terlibat dengan isu-isu moral-etika utama di zaman kita.

Kita membutuhkan sebuah warisan yang dapat kita gunakan untuk terus berinteraksi, yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Warisan ini tidak hanya penting tetapi juga tidak dapat dihindari; kita tidak dapat lagi menghindari gagasan bahwa masa lalu, untuk sebagian, adalah ciptaan kita. Tidak ada akses atau pemahaman tentang masa lalu tanpa menilai masa kini, warisan budaya, sosial dan fisik bergerak dari masa kini ke masa lalu, bukan sebaliknya. Ketika kita membangun narasi kontemporer untuk mengubah masa lalu, identitas kota dan kenangan kota menjadi ambivalen, menggantikan tempat dan ruang dengan memoryscapes. Struktur dan makna yang kita temukan di dunia ini sudah ada di sana, dalam informasi yang kita ambil melalui proses persepsi; sumbernya ada pada hal-hal yang kita alami, dan tidak melekat pada diri si pengamat. Kemudian, mungkin, mengingat bahwa tidak ada pendekatan yang benar-benar benar terhadap warisan kota, baik kolonial maupun tidak, budaya atau komunitas yang beragam akan menemukan nilai-nilai yang berbeda di masa lalu, dan tidak ada satu sikap terhadap masa lalu yang lebih berharga daripada yang lain, terutama jika ditelaah melalui kerangka kerja individu-kolektif, personal-nasional. Yang penting adalah pemeliharaan identitas kota, yang mungkin hanya dapat dipertahankan melalui kepekaan yang cermat terhadap praktik-praktik pusaka.

Menggunakan praktik-praktik pusaka seperti mengadvokasi pendekatan partisipatif terhadap isu-isu pelestarian pusaka perkotaan dapat memberikan dampak positif. Pengembangan kota tidak harus diprakarsai oleh pemerintah daerah atau badan pemerintahan yang bertanggung jawab. Di Kota Tua, sektor publik harus berada di garis depan dalam upaya melindungi warisan kolonial dan memori perkotaan yang terkait. Selain itu, persepsi masyarakat umum terhadap narasi sejarahnya juga memberikan informasi yang sangat penting bagi warisan kota. Memori tempat, dan bagaimana ruang-ruang di Kota Tua dimanfaatkan; pendekatan ini memungkinkan komunitas untuk mempertahankan partisipasi yang lebih baik dari komunitas dan masyarakat umum.

Pengunjung Kota Tua saat ini tidak diberikan identitas kota yang koheren untuk memposisikan diri mereka. Situs-situs cagar budaya merupakan entitas yang sangat berbeda, dan pengunjung dipaksa untuk menjalin hubungan mereka sendiri melalui eksplorasi independen mereka sendiri. Oleh karena itu, karena narasi sangat penting dalam penempatan, Kota Tua membutuhkan identitas kota yang lebih jelas.

Kota-kota yang mengglobal dengan cepat seperti Jakarta mendorong refleksi tentang apa yang hilang dan bagaimana identitas dibentuk kembali-Sebagai sebuah situs, Kota Tua telah dilanda komodifikasi warisan budaya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tuntutan untuk segera beradaptasi kembali sebagai tempat rekreasi, menawarkan pengalaman memori nostalgia seperti tempo doeloe, telah banyak mengaburkan identitas perkotaan Kota Tua. Bersama dengan warisan kolonialnya, Kota Tua berperan ganda sebagai situs perlawanan. Kota Tua ingin mempertahankan identitas vernakularnya, namun di saat yang sama, ia juga menolak perubahan-perubahan yang memusingkan dalam warisan sejarahnya. Seperti ruang dan waktu, tempat adalah konstruksi sosial yang harus dipahami dan diapropriasi dengan kehati-hatian yang relatif melelahkan. Setiap tindakan pengakuan akan mengubah apa yang bertahan. Sekadar menghargai sebuah kenangan atau melindungi sebuah warisan, apalagi memperindah atau menirunya, akan mengubah bentuk dan kesan serta persepsi kita terhadapnya. Menangani sebuah warisan secara inheren mengubah tampilan dan maknanya, dengan cara yang sama, seperti halnya ingatan yang memengaruhi ingatan dan subjektivitas yang memiringkan sejarah. Interaksi dengan peninggalan masa lalu, atau pusaka, mengubah karakter dan konteksnya tanpa batas waktu, tanpa disadari atau bahkan disengaja.

Mungkin, tidak ada jawaban yang pasti untuk masalah warisan dan ingatan Kota Tua yang kompleks ini. Mungkin, ini lebih tentang bagaimana masyarakatnya harus lebih sensitif menanggapi warisan sejarahnya, agar tidak mengaburkan memori perkotaannya-ketika mereka memilih untuk secara terbuka mengundang 'orang luar' ke dalam lokus warisan kolonial yang telah mengakar kuat.

Identitas kota yang samar-samar dan ingatan kolektifnya yang ambivalen tidak bermuara pada kesalahan masyarakat yang memanfaatkannya, atau pemerintah yang bertanggung jawab untuk mempertahankan lanskap yang dibangun, tetapi ada di antara keduanya. Mengadaptasi kembali narasi dari sebuah situs kolonial membutuhkan banyak waktu sebagai katalisator alamiah untuk prosesnya, dan tampaknya Kota Tua membutuhkan lebih banyak waktu.

BIBLIOGRAFI

Adinugroho, Sigit dan Intan Rizky Mutiaz 'Perancangan Media Digital Interaktif untuk Situs Bersejarah Jakarta sebagai Media Konservasi dan Placemaking', NIRMANA, 14.1 (2012), 36-46 <https://dx.doi.org/10.9744/nirmana.14.1.36-46&gt;

Bakshi, Anita 'Wacana Bentuk dan Ingatan Kota: Praktik Spasial di Kota-kota yang Diperebutkan', Jurnal Desain Perkotaan, 19.2 (2014), 189-210 <https://dx.doi.org/10.1080/13574809.2013.854696&gt;

Bélanger, Anouk 'Ruang Kota dan Memori Kolektif: Menganalisis Berbagai Dimensi Produksi Memori, Jurnal Penelitian Perkotaan Kanada, 11.1 (2002), 69-92

Boyer, M. Christine, Kota dengan Memori Kolektif: Citra Sejarah dan Hiburan Arsitekturnya, (Cambridge: MIT Press, 1994)

Boym, Svetlana, Masa Depan Nostalgia(New York: Basic, 2001)

Bryman, Alan, Disneyisasi Masyarakat(London: SAGE Publications, 2004)

Chang, T.C. dan Peggy Teo, 'Hotel Ruko: Warisan Vernakular di Kota Kreatif', Studi Perkotaan, 46.2 (2009), 341-367 <https://dx.doi.org/10.1177/0042098008099358&gt;

Connerton, Paul, Bagaimana Masyarakat Mengingat(Cambridge: Cambridge U. Press, 1989)

Corner, John dan Sylvia Harvey, 'Mediasi Tradisi dan Modernitas: Bait Warisan/Perusahaan', dalam Perusahaan dan Warisan: Arus Silang Budaya Nasional ed. oleh John Corner dan Sylvia Harvey, (London: Routledge, 1991) hal. 45-75

Damanik, Darmawan, dkk., 'Pengaruh Media Sosial terhadap Motivasi Perjalanan Wisatawan Domestik Studi Kasus: Kota Tua Jakarta, Indonesia', Jurnal Sains dan Teknologi Terapan Terkini, 36.6 (2019), 1-14 <https://dx.doi.org/10.9734/CJAST/2019/v36i630263&gt;

Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta, 'Stadhuis' diterjemahkan oleh penulis Troy Rahardja, Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta, 2015 <https://web.archive.org/web/20151127054131/http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2944/Stadhuis&gt; [diakses pada tanggal 3 Januari 2022]

Foley, Malcom & J. J. Lennon, Pariwisata Gelap: Daya Tarik Kematian dan Bencana(New York & London: Continuum, 2000)

Gentry, Kynan dan Laurajane Smith, 'Studi Warisan Kritis dan Warisan Warisan Akhir Abad Kedua Puluh', Jurnal Internasional Studi Warisan, 25.11 (2019), 1148-1168 <https://dx.doi.org/10.1080/13527258.2019.1570964&gt;

Guy Debord, Masyarakat Tontonantrans. oleh Ron Adams (Cambridge: Unredacted Word, 2021)

Halbwachs, Maurice, Pada Memori Kolektif(Chicago: University of Chicago Press, 1992)

Hall, C. M., dan S. McArthur, 'Manajemen Warisan: Sebuah Kerangka Kerja Pengantar." dalam Pengelolaan Warisan Budaya di Selandia Baru dan Australia: Manajemen Pengunjung, Interpretasi, dan Pemasaran(Auckland: Oxford University Press, 1993) hal. l-l7 

Harvey, David, 'Dari Ruang ke Ruang dan Kembali Lagi: Refleksi tentang Kondisi Postmodernitas, dalam Memetakan Masa Depan, ed. oleh John Bird dkk., 1st ed (London: Routledge, 1993), hlm. 2-29 

Harvey, David C., 'Warisan Masa Lalu dan Warisan Masa Kini: Temporalitas, Makna dan Cakupan Studi Pusaka', Jurnal Internasional Studi Warisan, 7.4 (2001), 319-338

Harvey, David C., 'Warisan dan Skala: Pengaturan, Batas dan Hubungan', Internasional Jurnal Studi Warisan, 21.6 (2015), 577-593

Harvey, David C., dan Emma Waterton, 'Editorial: Lanskap Warisan dan Lanskap Cagar Budaya', Lanskap Lanskap Warisan dan Warisan Budaya, 40.8 (2015), 905-910

Hayden, Dolores, Kekuatan Tempat: Lanskap Perkotaan sebagai Sejarah Publik (Cambridge, MA: The MIT Press, 1995)

Heiden, C.M. van der, 'Perencanaan kota di Hindia Belanda', Perspektif Perencanaan 5.63 (1990), 84

Hobsbawm, Eric, 'Pendahuluan: Menciptakan Tradisi', dalam Penemuan Tradisied. oleh Eric Hobsbawm dan Terence Ranger, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1-14

Hoelscher, Steven dan Derek H. Alderman, 'Memori dan Tempat: Geografi dari sebuah Hubungan Kritis', Geografi Sosial & Budaya, 5.3 (2004), 347-355, <http://dx.doi.org/10.1080/1464936042000252769&gt;

Huyssen, Andreas, Kenangan Senja: Meluangkan Waktu dalam Budaya Amnesia(London: Routledge, 1995)

Kusno, Abidin, Penampakan Memori: Praktik Mnemonik Arsitektur dan Bentuk Perkotaan di Indonesia(Durham: Duke University Press, 2010)

Jones, Roy dan Brian J. Shaw, 'Palimpsests of Progress: Menghapus Masa Lalu dan Menulis Ulang Masa Depan di Masyarakat Berkembang-Studi Kasus Singapura dan Jakarta', Jurnal Internasional Studi Warisan, 12.2 (2006), 122-138 <https://dx.doi.org/10.1080/13527250500496045>

Jones, Roy, Brian J. Shaw dan Ooi Giok Ling, 'Urban Heritage, Development and Tourism in South East Asian Cities: a Contestation Continuum' ed. oleh B.J. Shaw dan R. Jones, (Aldershot: Ashgate Publishing Ltd, 1997)

Lowenthal, David, Masa Lalu adalah Negara Asing, 2dan ed (New York: Cambridge University Press, 2015)

Maier, Charles S. 'Sebuah Penipuan Ingatan? Refleksi tentang Sejarah, Melankolis, dan Penyangkalan', Sejarah dan Memori, 5.2 (1993), 136-152

Mariani, Evi, 'Kali Kota Tua Akan Menjadi Cheonggyecheon-nya Jakarta', The Jakarta Post, 2016 < https://www.thejakartapost.com/news/2016/11/14/kota-tua-river-to-become-jakartas-cheonggyecheon.html&gt; [diakses pada 23 Desember, 2021]

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 'Jelajahi Jakarta Kota Tua', Indonesia Travel, <https://www.indonesia.travel/my/en/trip-ideas/explore-jakarta-kota-tua-today-s-old-batavia&gt; [diakses 20 Desember 2021]

Neill, William J. V., 'Memori, Identitas Kolektif dan Desain Perkotaan: Masa Depan Palast der Republik di Berlin', Jurnal Desain Perkotaan, 2.2 (1997), 179-192 <http://dx.doi.org/10.1080/13574809708724403&gt;

Niemeijer, Henk E., Batavia(Amsterdam: De Bezige Bij, 2012) dikutip dalam Yathun Sastramidjaja 'Ini Bukan Pengabaian Masa Lalu' (2014)

Nora, Pierre, 'Antara Ingatan dan Sejarah: Les Lieux des Mémoire', Representasi, 26 (1989), 7-24 <https://dx.doi.org/10.2307/2928520&gt;

Nugteren, Bastiaan, 'Warisan Universal, Kolonial, atau Indonesia? Pendekatan Multiskalar terhadap Representasi Sejarah dan Pengelolaan Warisan Kolonial di Kota Tua Jakarta dalam Proses Pencalonan sebagai Warisan Dunia pada 2015-2018', Jurnal Internasional Kebijakan Kebudayaan, 26.6 (2020), 840-853 <https://dx.doi.org/10.1080/10286632.2020.1811248&gt;

Padawangi, Rita, 'Yang Vernakular dan yang Spektakuler', dalam Kota-kota di Asia: Kolonial hingga Global, ed. oleh Gregory Bracken, (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2015), 261-278

Peleggi, Maurizio, 'Mengkonsumsi Nostalgia Kolonial: Monumentalisasi Hotel-Hotel Bersejarah di Perkotaan Asia Tenggara', Sudut Pandang Asia Pasifik, 46.3 (2005), 255-265 <https://dx.doi.org/10.1111/j.1467-8373.2005.00289.x&gt;

Rahmayanti, K, dkk., 'Revitalisasi Gedung Kerta Niaga Kota Tua Jakarta sebagai Hotel Butik', Seri Konferensi IOP: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan, 729 (2021), <https://dx.doi.org/10.1088/1755-1315/729/1/012054&gt;

Rapson, Jessica, 'Pariwisata dan Memori'Temoigner: Entre histoire et mémoire, 119 (2014), 177-178 <https://dx.doi.org/10.4000/temoigner.1498&gt;

Ricoeur, Paul, Memori-Sejarah-Lupatrans. oleh Kathleen Blamey dan David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 2004)

Robertson, Roland, 'Setelah Nostalgia? Nostalgia yang Disengaja dan Fase-Fase Globalisasi', dalam Teori Modernitas dan Postmodernitas, ed. oleh B. Turner, (London: Sage, 1990) hal. 45-61

Robins, Kevin, 'Tradisi dan penerjemahan: Budaya Nasional dalam Konteks Global', dalam Perusahaan dan Warisan: Arus Silang Budaya Nasional, ed. oleh John Corner dan Sylvia Harvey, (London: Routledge, 1991) hal. 21-44

Roosmalen, Pauline K. M. van, 'Menghadapi Warisan Budaya Terbangun: Pergeseran Perspektif tentang Arsitektur Kolonial di Indonesia', Berkas: Kolonial Hari Ini, 3 (2013), <https://dx.doi.org/10.4000/abe.372&gt;

Said, Edward, 'Penemuan, Memori, dan Tempat', Penyelidikan Kritis, 26.2 (2000), 175-192

Samuel, R., Teater Memori: Masa Lalu dan Masa Kini dalam Budaya Kontemporer, (London: Verso, 1994)

Sastramidjaja, Yatun 'Ini Bukan Pengabaian Masa Lalu', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 170.4 (2014), 443-472 <https://dx.doi.org/10.1163/22134379-17004002&gt;

Seaton, A.V., 'Dipandu oleh Kegelapan: Dari Thanatopsis ke Thanatourism', Jurnal Internasional Studi Warisan, 2.4 (1996), 234-244 <https://dx.doi.org/10.1080/13527259608722178&gt;

Smith, Laurajane, Penggunaan Warisan, (London: Routledge, 2006)

Steinberg, Florian, Potensi Pembaharuan Perkotaan di Ha Noi, Jakarta, dan Manila, (Kota Mandaluyong: Bank Pembangunan Asia, 2008)

Susilowati, M.H. Dewi, 'Distribusi Spasial Tempat Wisata di Jakarta', TIO Seri Konferensi: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan, 338 (2019) <https://dx.doi.org/ 10.1088/1755-1315/338/1/012013>

Taylor, Jean Gelman, Dunia sosial Batavia: Eropa dan Eurasia dalam bahasa Belanda Asia(Madison: University of Wisconsin Press, 1983)

Till, Karen E., Berlin Baru: Memori, Politik, Tempat, (Minneapolis: U. of Minnesota Press, 2005)

Tuan, Yi-Fu, Ruang dan Tempat: Perspektif Pengalaman, 8th ed. (Minnesota: University of Minnesota Press, 2001)

Tuan, Yi-Fu, dkk., 'Topophilia: Sebuah Studi tentang Persepsi, Sikap, dan Nilai Lingkungan', Kemajuan dalam Geografi Manusia, 18.3 (1994), hal. 355-359 <https://dx.doi.org/10.1177/030913259401800305&gt;

Tunbridge, J. E. dan G. J. Ashworth, 'Warisan yang Disonansi: Pengelolaan Masa Lalu sebagai Sumber Daya dalam Konflik', Annals of Tourism Research, 24.2 (1977), 496-498 <https://dx.doi.org/10.1016/S0160-7383(97)80033-3&gt;

Kantor UNESCO Jakarta dan Biro Regional untuk Ilmu Pengetahuan di Asia dan Pasifik, 'Studi Analisis Kota Tua, Jakarta', ed. oleh Ashley Robertson, Elisa Sutanudjaja, dkk., <https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233887&gt; [diakses 13 Oktober 2021]

Vidler, Anthony, Arsitektur Luar Biasa: Esai-esai dalam Ketidaklaziman Modern(Cambridge: MIT Press, 1992)

Wertsch, James V. dan Henry L. Roediger III, 'Memori kolektif: Landasan Konseptual dan Pendekatan Teoritis', Memori, 16.3 (2008), 318-326 <http://dx.doi.org/10.1080/09658210701801434&gt;

Wijaya, Callistasia Anggun, 'Kurangnya Keaslian, Kota Tua Gagal Masuk Daftar Warisan UNESCO', The Jakarta Post, 2018 <https://www.thejakartapost.com/news/2018/07/09/lacking-authenticity-kota-tua-fails-to-make-unesco-heritage-list.html&gt; [diakses 14 Juni 2021]

Woolf, Virginia, 'Sketsa Masa Lalu', dalam Saat-saat Keberadaan(Chatto & Windus, 1976)

Yapp, Lauren, 'Masa Depan di Masa Lalu: Modernitas Kolonial sebagai Warisan Perkotaan di Indonesia Kontemporer', Penelitian Asia Tenggara, 28.2 (2020), 178-198 <https://dx.doi.org/10.1080/0967828X.2020.1768801&gt;

Yuwono, Martono, 'Program Restorasi dan Pembangunan Kembali Pelabuhan Tua Jakarta: Proyek Kampung Warisan Maritim Sunda Kelapa', Seminar Kebaharian Asean(Jakarta: ASEAN, 1987), (Jakarta: ASEAN, 1987)

Yuwono, Martono dan Erlita Rachman, Jakarta Ditelusuri Kembali(Jakarta: Yayasan Pelestarian Budaya Bangsa, 1992)

Terima kasih kepada para Sponsor Resmi dan Pendukung Utama kami di Patreon:

Sponsor Resmi VVIP

1. Sei Violette

Media Sosial: @seiviolette (semua)

Tautan: linktr.ee/seiviolette

2. Vania Syamsu

Media Sosial IG @expensive_fridge1795

Pendukung Utama

  1. Umi Hoshii
  2. Dalam elemen saya
  3. Zed Orchard (IG @zed4711)
  4. Azzandi Firman (IG @azzandi.f)
id_IDBahasa Indonesia
%d