Artikel ini dibuat atas kerja sama dengan Moviephobic, Anda dapat menemukannya di Instagram @moviephobic/Artikel ini dibuat dalam rangka kolaborasi dengan Moviephobic, kalian bisa menemukannya di Instagram @moviephobic
Orang-orang yang membuat film saat ini terlalu mementingkan mekanika - hal-hal teknis, bukannya perasaan
John Cassavetes
Bicara sinema Amerika Serikat yang telah melekat dengan sebutan 'Hollywood' sebagai metonimi, maka film-film mahsyur yang menjual teknikalitas maha tiada tara adalah sebuah dogma yang telah dianut oleh banyak penonton luas. Sejak dekade 1920-an - periode di mana film bersuara lahir - menjamurnya studio-studio raksasa seperti 20th Century Fox, Metro-Goldwyn Mayer, Paramount, RKO Pictures, dan Warner Bros dengan amunisi anggaran yang bombastis sukses membuat eksistensi film Amerika dipandang sebagai produk komoditas persembahan kapitalis semata. Pada pertengahan dekade ini, bahkan hampir setengah populasi rakyat Amerika menyempatkan diri untuk menonton film di bioskop komersil setiap minggunya. Para pembuat film pun cenderung dianggap sebagai penghibur ketimbang seniman. Fenomena resesi dahsyat yang terjadi pada tahun 1929 sampai tahun 1939 (Depresi Besar) kian membuat masyarakat paman Sam berbondong-bondong mencari ladang eskapisme melalui film; dari krisis panjang yang melanda negeri mereka.
Implementasinya dapat dilihat dengan diberlakukannya kode hays sejak tahun 1934 yang membabat habis bentuk konten erotis/seksual dan menuntut bahwa babak ketiga atau akhir cerita film naratif haruslah menampilkan nuansa kebahagiaan. Di saat itulah kebebasan berekspresi dalam bersinema seakan tumpul dan sulit kita dapatkan. Perpanjangan tangan studio dengan komersialisasi film-film ternama yang umumnya memotret kehidupan masyarakat hedonis juga semakin tak terbendung. Yah, memang pada dasarnya produk seni seperti film digunakan sebagai mekanisme penanganan dari banalitas duniawi, apa yang bisa dilakukan?
Dekade silih berganti, era 1940-an mungkin bisa menjadi 'oase' tersendiri, di mana Maya Deren secara radikal membuat film bernada avant-garde, Jala-jala dari bagian luarn (1943) yang menabrak nilai-nilai konvensional Hollywood dan secara nyata mencerminkan eksperimentasi terhadap medium audio-visual sekaligus semangat independensi ("Saya membuat foto-foto saya sesuai dengan apa yang dibelanjakan Hollywood untuk lipstik") - hingga nantinya tongkat estafet sinema avant-garde Amerika dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Stan Brakhage, Kenneth Anger, dan Gregory Markopoulos.
Angin segar ini kemudian berlanjut pada dekade berikutnya, tepatnya tahun 1950-an. Masa dimana kebangkitan acara-acara televisi semakin menarik perhatian masyarakat dan memberi tantangan berat untuk bertahannya industri film Amerika yang sudah semakin melemah, muncullah sebuah teknologi kamera baru yang relatif murah dengan ukuran yang lebih mudah dibawa. Hal ini membuka kesempatan baru bagi masyarakat yang lebih luas yang tertarik untuk mengenal dan mempelajari pembuatan film. Sineas-sineas independen baru seperti Shirley Clarke, Barbara Loden, Charles Burnett, Lionel Rogosin, dan Bruce Conner muncul ke permukaan dan meramaikan film-film yang diproduksi secara gerilya tanpa campur tangan sistem studio Hollywood. Di antara sineas independen lainnya yang berkiprah pada rentang periode ini, ada satu sosok yang dianggap sebagai 'krim terbaik' dan sukses membawa film indie Amerika ke level yang berbeda; yaitu John Cassavetes - sang pemberontak bagi Hollywood, dan semacamnya sosok mesianik bagi calon pembuat film. Beliau yang menyadarkan banyak orang (termasuk Martin Scorsese yang mendaulatkannya sebagai figur paling berpengaruh sepanjang karirnya) bahwa membuat dan mendistribusikan film dengan dana sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
Sang Aktor Yang Bertransformasi Menjadi Sutradara
Sebelum namanya meroket menjadi sutradara yang berupaya melontarkan karya-karya yang bernilai oposisi bagi industri perfilman, John Cassavetes - berbekal ilmunya di Akademi Seni Drama Amerika Serikat - meniti karir sebagai aktor kelas menengah yang kerap tampil di berbagai pementasan teater, acara televisi, hingga layar lebar. Karena citra fisiknya yang tampak maskulin penuh hawa testosteron, John kerap mendapatkan peran-peran repetitif yang sedikit banyak berkaitan dengan imej pria penuh intensitas nan pemarah: sebut saja peran kriminal dalam karya noir The Night Holds Terror (1955) besutan Andrew L. Stone atau seorang punk dalam Kejahatan di Jalanan (1956)- film yang membuat Cassavetes muda mendapatkan pengakuan terbaiknya sebagai seorang aktor.
Pada tahun 1956, bersama sahabatnya, Burt Lane (kelak akan menjadi ayah bagi Diana Lane), Cassavetes mendirikan bengkel akting bernama Lokakarya Drama Cassavetes-Lane di wilayah Manhattan, New York, Amerika. Pada tahun itu juga, John terlibat gelar wicara dalam siaran radio tengah malam milik Jean Shepherd bertajuk Orang Malam untuk mempromosikan projek filmnya mendatang. Tak dinyana tak disangka, ia melihat sebuah peluang untuk memasarkan sebuah ide besar yang dapat menggugah minat para pendengarnya.
Setelah pembicaraan di radio mencair, John membahas jenis film arus utama Amerika yang selalu terjebak pada pakem penceritaan yang generik, residual, dan formula. Dari sini ia melontarkan sebuah janji, bahwa dirinya akan mewujudkan sebuah film yang sangat otentik bila para pendengar radio berkenan memberikan sejumlah uang. Dari metode crowdfunding tersebut, ia mendapatkan donasi sebesar $ 2.000. Nilai itulah yang menjadi anggarannya untuk menginjak pedal gas dalam melaksanakan nazarnya.
Bermodalkan kru pengatur waktu pertama yang terdiri dari anggota bengkel aktingnya, tanpa memperoleh izin syuting, dengan kamera genggam Dengan menggunakan kamera sebagai alat perekam, John memulai syuting film pada tahun itu juga dan menyuntingnya pada tahun berikutnya. Film tersebut diberi judul Bayangan dan diputar pada akhir tahun 1958 di Paris Theater, Manhattan, New York.
Sebanyak 400 penonton menghadiri acara eksibisi tersebut. Namun, ketika jarum jam baru bergulir 15 menit, ruang putar yang bersifat komunal bertransisi secara instan menjadi pemandangan orang-orang yang lalu lalang melintasi pintu keluar. Para kru (termasuk John) hanya bisa gigit jari ketika donasi masyarakat untuk karya perdananya berakhir sebagai sarana transit semata. Cassavetes menyadari kesalahannya dengan benar; di dalam buku Singkong di atas SingkongJohn mengakui bahwa Bayangan dirasa terlampau 'artistik' dan kurang manusiawi (organik) karena terlalu terobsesi dengan teknis, ritme pengambilan gambar, serta musik Jazz yang menghiasi layar, namun abai terhadap koherensi cerita dan bentuk komunikasi yang dapat menimbulkan emosi dan empati kepada penonton.
Tak perlu waktu lama, keputusan solutif terbesit di kepala John. Dengan bantuan dana dari Nikos Papatakis dan kawan-kawan, John secara nekat merekonstruksi filmnya bersama Robert Alan Arthur yang dikenal sebagai penulis naskah profesional Hollywood dengan beberapa adegan tambahan yang cenderung mengekspos kompleksitas para karakternya. Hampir 2/3 bagian film dirombak. Bayangan kemudian baru dirilis secara perdana pada tahun 1959. Sejak pemutaran resmi perdananya di gedung bioskop Akademi Film Londonfilm ini menuai banyak apresiasi dari para kritikus dan jurnalis yang menyandingkan namanya dengan Jean-Luc Godard - pada tahun itu sedang merilis Terengah-engah / A bout de souffle (1960) lewat La Nouvelle Vague sebagai wujud pemberontakan nan disruptif terhadap status quo yang mengekang sinema Prancis.
Dari London, mendarat ke Paris, hingga ikut berkompetisi di Venesia, Italia. Penghargaan Kritikus di Festival Film Venesia tahun 1960 pun menjadi ganjaran yang pantas diterima John Cassavetes atas dedikasi dan determinasinya dalam membuat dan mendistribusikan film independen ini ke publik secara gerilya.
Kompleksitas Manusia dan Realitas Kehidupan dalam Film John Cassavetes
Lewat debutnya, John Cassavetes sudah menunjukkan ketertarikannya dalam membedah permasalahan internal pada manusia. Memotret tiga karakter berdarah Afro-Amerika beserta pelik permasalahannya: Bennie, seorang pengembara Beatnik yang mencoba peruntungan sebagai pemain trompet; Hugh, sosok konservatif yang sedang berjuang menjadi musisi Jazz; dan Leila, gadis muda yang sangat polos dan lugu. Dinamika kehidupan mereka kemudian dikoneksikan dengan lanskap kebohongan yang ditampilkan secara lugas.
Setiap karakter dalam film ini berdusta kepada lingkungan sekitar, termasuk diri mereka sendiri; sebut saja Leila yang menganggap aktivitas seksual sebagai sesuatu yang profan meskipun sanubarinya mengatakan sebaliknya; atau sikap narsis dari Tony, penulis sekaligus kekasih dari Leila, yang selalu ingin dikagumi banyak wanita - peran-peran palsu yang menyalahi kodrat mereka yang sedang dimainkan oleh para karakter dalam film Bayangan hingga konsekuensi yang akan mereka tanggung. Cassavetes menyentil ego manusia yang sedang menjalani lakon penuh pretensi di balik "topeng" yang sedang mereka gunakan.
Saya rasa tidak ada orang di Eropa yang tahu bahwa Amerika benar-benar ada di luar apa yang diperlihatkan oleh Hollywood kepada mereka. Jadi kami ingin menunjukkan kepada mereka seperti apa orang Amerika yang sebenarnya... buruk dan baik.
John Cassavetes
Semesta bohemian yang menjadi latar belakang di antara santapan nada Jazzysentimen rasial, dan kemunafikan yang berkelindan, kurang lebih dapat menegaskan bahwa Cassavetes sedikit banyak mencomot estetika film Neorealisme Italia dan mengelaborasi pengaruhnya. Sudah menjadi hal yang cukup familiar bahwasanya Neorealisme selalu menjadi kiblat utama bagi para seniman alternatif dalam bereksperimen dengan sinema (dan manusia yang ada di dalamnya). Saya cenderung percaya jika kredo S.M Ardan mengenai Neorealisme memiliki relevansi yang lebih universal. Tidak hanya bagi sinema Indonesia saja - yang jarak antar masyarakatnya masih dipisahkan oleh perbedaan kelas dan kesejahteraan baru menyentuh lapisan kecil - namun sudah sepatutnya sinema alternatif dari daerah manapun bercermin dan mengaplikasikan Neorealisme; untuk mengupas marjinalitas, mengilustrasikan realitas, dan juga sisi-sisi yang belum terjamah dari sinema arus utama yang lebih senang bersembunyi di selangkangan para elit dengan menghadirkan cerita-cerita eskapistik semu. Karena Neorealisme tidak hanya mengubah deprivasi pascaperang, ia juga membentuk bahasa sinematik baru yang digambarkan oleh Millicent Marcus sebagai "sebuah poesia moral yang baru"sebuah puisi moral [Film Italia dalam Cahaya Neorealisme, 1986]
Mulai dari era Sinema Paralel (saat itu ngehits trilogi Apu besutan Satyajit Ray), L.A Rebellion (gerakan sineas kulit hitam dari sekolah film UCLA di Amerika), sinema klasik Indonesia era Soekarno (Bachtiar Siagian dan Usmar Ismail adalah salah dua tokoh yang mengambil Neorealisme sebagai inspirasi dalam bersinema), dan tak terkecuali Amerika Serikat. Selain Bayang-bayang (1959), Si Pendiam (1948), Buronan Kecil (1953), Pembunuh Domba (1978) dan Dunia yang Sejuk (1964) besutan Shirley Clarke ini merupakan sekian dari beberapa judul film Amerika bernuansa neorealis.
Saya mengagumi para neo-realis karena visi kemanusiaan mereka. Zavattini jelas merupakan penulis skenario terhebat yang pernah ada. Yang paling menginspirasi saya ketika saya membuat 'Shadows' adalah 'La Terra Trema', 'I Vitelloni', 'Umberto D' dan 'Bellissima'. Para pembuat film neo-realis tidak takut pada kenyataan; mereka menatapnya langsung di wajahnya. Saya selalu mengagumi keberanian mereka dan kesediaan mereka untuk menunjukkan kepada kita bagaimana kita sebenarnya. Sama halnya dengan Godard, Bergman awal, Kurosawa dan sutradara terbesar kedua setelah Capra, Carl Dreyer. Shadows mengandung banyak pengaruh neo-realistis tersebut
John Cassavetes
Bayangan pun lahir sebagai purwarupa yang menjadi preseden bagi Martin Scorcese (Jalanan yang Berarti, 1973), Jim Jarmusch (Stranger Than Paradise, 1984), dan Spike Lee (Dia Harus Memilikinya, 1986). Biarpun sedikit banyak orang yang menglorifikasinya, kita sulit untuk tidak setuju bahwa film ini merupakan sebuah karya monumental yang melampaui zamannya. Tidak hanya secara estetika, namun juga kontekstual secara materi. Cassavetes Tanpa Permisi menghadirkan permasalahan seks, rasial, kepalsuan jati diri, dan tameng identitas secara jujur - pada zamannya, ketika segregasi Jim Crow masih diberlakukan, dianggap sebagai perkara tabu - yang dipresentasikan dengan penuh spontanitas; persis seperti penggalan pesan dari John saat kredit bergulir "Film yang baru saja Anda saksikan adalah sebuah improvisasi."- sebuah kalimat yang seakan-akan akan ditunjukkan sebagai bentuk ejekan atau ejekan terhadap industri Hollywood - bagaimana mungkin sebuah film yang tidak terikat dengan monopoli studio besar dapat diciptakan melalui improvisasi sesuka hati? Kepercayaan yang mengagung-agungkan anggaran mahal untuk membuat film pun luntur setelah "Shadows" dirilis. Mengutip Martin Scorsese "Tidak ada lagi alasan. Jika [Cassavetes] bisa melakukannya, kami juga bisa."
Setelah sukses Bayangan (1959) yang sangat menyegarkan dan orisinil, John Cassavetes dikontrak oleh studio Paramount untuk menyutradarai Too Late Blues (1961) dan Seorang Anak yang Menunggu (1963). Ironisnya, kedua film tersebut gagal memenuhi ekspektasi studio dan mendapatkan sambutan yang kurang hangat dari publik. Campur tangan (intervensi) eksekutif membuat John merasa sangat kecewa, menyebut bahwa pengalaman terburuknya adalah ketika menyutradarai dua film tersebut.
Berangkat dari sini, semangatnya dalam melawan dominasi kembali meledak dan kini kokoh menjadi idealisme tetap. Sejak saat itu, karirnya di dunia film independen kian konsisten. John mengumpulkan uang dengan kembali ke dunia seni peran, mengisi peran di beberapa film seperti The Killer (1964), The Dirty Dozen (1967) dan Rosemary's Baby (1968). Hasil gajinya nanti, kemudian digunakan untuk biaya filmnya yang keseluruhan proses produksi dan distribusinya ia tanggung sendiri. Pertanda kebangkitan John terlihat ketika Wajah (1968) ditasbihkan, yang secara jelas dapat diartikan sebagai bentuk 'jari tengah'-nya terhadap studio Hollywood yang baru saja menyewanya kala itu.
Bagaimana tidak, penyampaian dalam film ini nyaris seperti dadakandan menawarkan gagasan dekonstruktif yang menginjak-injak formula utopis dari gelora sinema 'Zaman Keemasan' Hollywood. Ledakan krisis pernikahan yang telah berada di ambang kehancuran pada akhirnya menuntut kedua individu untuk melakukan perselingkuhan, dan John Cassavetes mempresentasikan itu semua dengan gaya Cinéma vérité- metode yang digagas oleh Jean Rouch dan menjadi antitesis dari pengambilan gambar yang tenang dan serba direkayasa; mentah, kasar, dan gemetar- hal yang sangat jarang saya temui di film Amerika, baik komersil maupun rumahan. Semua luapan emosi dihidangkan dengan shot-shot close-up, visualisasi hitam-putih yang kasar, serta dialog yang bak hasil improvisasi para aktor; memandu kita untuk mengikuti ekspedisi satu malam para karakternya dan merasakan roller-coaster emosi.
Pada karya-karya selanjutnya, John memang senatiasa menelisik konflik dari diri para manusia: kerapuhan, kemunafikan, kegelisahan, rasa teralienasi, juvenilitas, dan yang paling utama dan sering kita jumpai; cinta. Seorang Wanita di Bawah Pengaruh adalah tentang penerimaan kehidupan, Pembunuhan Seorang Bandar Judi Cina bergerak sebagai semi-otobiografi yang memetaforakan maskulinitas yang rapuh seseorang dalam memperjuangkan mimpi dan aspirasinya, Malam Pembukaan bercerita tentang seorang aktris kesepian yang sedang dilanda krisis kehidupan, Suami kurang lebih dapat ditafsirkan sebagai bentuk penemuan pemahaman antara/di antara orang-orang dari kewaguan sekelompok pria payuh baya melalui sebuah petualangan yang merenggut kewaspadaan, adab, dan tanggung jawab mereka sebagai seorang ayah dan suami.
John memanifestasikan jiwa manusia (baik maskulin/feminin) dan segala permasalahannya tanpa berusaha menghakimi mereka secara moral, hal ini membuat karyanya sangat mudah untuk kita hubungkan dengan kehidupan nyata. Menonton filmnya, berarti menyaksikan salah satu alter-ego kita; yang kerap memakai "topeng" di hadapan para masyarakatyang dapat bertingkah layaknya seorang bocah berusia lima tahun, yang masih sulit untuk memaknai cinta dan kerap berkonflik dengan diri sendiri (internal). Sebagai pembuat film, John Cassavetes tidak pernah gagal dalam berkomunikasi dengan para penontonnya karena kecermatannya dalam mengobservasi tiap individu selalu menghasilkan film yang dapat merefleksikan manusia dan kehidupannya secara umum - kompleks dan tidak dapat didefinisikan secara biner atau hitam-putih.
Semangat Independen
Film independen bisa menjadi alternatif atau "pemberontakan" tersendiri terhadap arus film utama (industri) yang membawakan rasa kebaruan. Ia tercipta dari kecintaan sang pembuatnya terhadap dunia film dan hakikat film yang bukanlah alat hiburan semata.
Dari sinilah, sebuah film independen mampu menghadirkan kesegaran atau regenerasi secara terus-menerus dalam sinema dunia yang perlahan tapi pasti menggiring masyarakatnya menuju suatu hegemoni tema dan bentuk.
Kita mungkin masih ingat dengan perjuangan empat sutradara lokal (terdiri dari Riri Riza, Nan Achnas, Rizal Mantovani, dan Mira Lesmana) yang menggawangi produksi film panjang independen pertama di Indonesia yang berjudul Kuldesak (1998). Film tersebut didanai sendiri, dan diproduksi secara gerilya dari tatanan industri film Nasional yang membelenggu para pembuat film dengan kebijakan hierarkinya yang diterapkan asosiasi pekerja film (KFT) pada rezim Soeharto.
Film Lahirnya Kuldesak yang menyuarakan independensi, menyadarkan masyarakat bahwa membuat film secara mandiri itu mungkin, dan membawa penyegaran secara tematis dari industri film yang kala itu kebanyakan bertema percintaan klise. Kuldesak Pada akhirnya bersifat dwifungsi: ia menjadi momentum kebangkitan perfilman Nasional dari hibernasi yang cukup lama (ingat, ketika kejayaan televisi Indonesia sedang berada di masa puncaknya, akibatnya industri film harus mati suri) dan juga, menjadi pemantik para sineas lain yang menjadikan gerilya sebagai jurus andalan, hingga terciptalah manifesto Aku, Sinema- sebuah pemberontakan yang menyeluruh; matang dalam pemikiran dan pernyataan; terhadap kebijakan "bikin film" yang sudah didirikan sejak lama. Berkat Kuldesak dan manifesto Aku, Sinemaapapun latar belakang karir dan pendidikan kita, siapapun bisa membuat film tanpa perlu repot-repot direstui oleh pemerintah, hingga pada akhirnya, hal ini membuat perfilman Nasional kembali bangkit dan memulai era baru bersamaan dengan era reformasi.
Dampak film independen ternyata betul-betul signifikan terhadap industri film serta membantu keberlangsungan produksi. Dan untuk menelusuri hal ini lebih jauh, mau tidak mau, kita perlu bertolak ke Amerika Serikat yang kala itu jauh lebih cepat bereaksi dan mendominasi industri film daripada Prancis yang dipandang sebagai simbol kelahiran sinema itu sendiri melalui Auguste dan Louis Lumière (Lumière Brother). Amerika membawa fungsi film keluar dari visi sosial dan budaya, masuk ke ranah hiburan dan komersial, hingga hingga saat ini industrinya menjadi kiblat perfilman dunia.
Film independen (atau biasa disingkat sebagai "film indie") mulai ada sejak tahun 1908, saat di mana Amerika Serikat membentuk sebuah badan kesepakatan untuk gambar bergerak (film) yang dinamai MPPC (Perusahaan Paten Gambar Bergerak) dengan tujuan agar industri film dapat berkembang secara teratur dan terarah.
MPPC membentuk kesepakatan legal yang melibatkan berbagai pihak penting dari industri film, mulai dari perusahaan produksi maupun distributor ternama, hingga pemegang utama hak suplai bahan pita film. Dengan langkah ini, MPPC memusatkan semua kegiatannya dan menetapkan suatu standar bagaimana seharusnya sebuah produksi Film Gerak dijalankan. Selanjutnya, atur juga distribusi dan strategi pemasarannya. Semua ini dilakukan untuk menghindari persaingan yang dianggap tidak perlu terjadi. Semua perusahan yang masih terlalu kecil dan tidak bergabung dalam kelompok utama ini dianggap 'Independen'.
Perusahaan-perusahaan produksi kecil yang tidak diakui dalam perjanjian MPPC tahun 1908 semakin tersisih dan akhirnya banyak yang memutuskan pindah ke daerah barat Amerika, menghindar dari wilayah hukum perjanjian MPPC. Mereka menyingkir ke sebuah desa bernama Hollywood. Di wilayah baru ini mereka diterima dengan baik dan lebih bebas melakukan berbagai eksperimen yang inovatif. Kelompok-kelompok produksi film di Hollywood ini pun menjadi semakin kompak dan menyusun sebuah tuntutan pengadilan yang dikenal dengan nama Pengadilan Banding Sirkuit Kesembilan. Tuntutan ini berhasil dikabulkan oleh pengadilan tinggi Amerika, memberikan ruang gerak dan hak pada kelompok independen ini untuk diizinkan mengembangkan peralatan dan teknologi mereka sendiri. Dan selanjutnya untuk memproduksi karya-karya film mereka sendiri juga, tanpa harus merasa terancam oleh MPPC. Pengakuan ini juga memberi kesempatan untuk menyusun strategi pemasaran yang baru.
Pada tahun 1913, gerakan independen ini semakin dikenal di kalangan penggemar film. Mereka dianggap lebih inovatif dan kreatif. Gerakan independen ini juga mulai membuat karya-karya yang berdurasi jauh lebih panjang, dengan menggunakan beberapa reel sekaligus. Pada era inilah muncul istilah film layar lebar atau film panjang yang kita kenal sampai sekarang.
Mereka kemudian berkembang pesat menjadi sebuah bisnis besar yang mengarah ke konglomerasi - memiliki studio film sendiri, membentuk divisi yang mengurus distribusi bahkan memiliki gedung bioskop sendiri. Pada masa ini, lahirlah apa yang dikenal dalam sejarah film Amerika sebagai "Sistem Studio"dengan jaringan distribusinya yang semakin meluas ke seluruh dunia. Perusahan-perusahaan film raksasa, 20th Century Fox, Metro-Goldwyn-Mayer, Paramount Pictures, RKO Pictures, dan Warner Brother memimpin industri. Kemudian pada peringkat di bawah lima nama utama ini ada studio-studio yang lebih kecil; Columbia Pictures, United Artists dan Universal Pictures.
Masa ini dikenal sebagai Era Keemasan Hollywoodatau masa keemasan Hollywood, berlangsung dari dekade 1920-an sampai awal 1960-an. Bak sebuah kudeta yang sukses, yang tadinya adalah 'pemberontak' kini justru menjadi 'penguasa'
Dari akar katanya, secara ringkas, kita dapat menyimpulkan bahwasanya independensi merupakan ekuivalen dari kalimat pemberontakan (pemberontakan). Independen bukan hanya berani membuat film dengan budget seadanya dan mendistribusikan film secara mandiri. Independen juga berarti mendobrak gaya-gaya atau pakem film yang dianggap konservatif, bereksperimen habis-habisan melalui gaya editing dan gaya naratif sebuah film, keluar dari presentasi yang dianggap sudah kuno dan usang.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, John Cassavetes adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan film indie. Pada dekade 1950-an ketika kamera video sudah jauh lebih terjangkau, Cassavetes mulai menyadarkan bahwa pemberontakan terhadap dominasi itu penting, dan memantik semangat merdeka serta menggerakkan hati para pembuat film yang merasa senasib yang ingin membuat film dengan bujet semi terbatas atau bahkan pas-pasan. Hingga hasilnya, kemunculan film-film independen Amerika yang berani dan bebas semakin marak, mendorong semua nilai pembaharuan hingga batas-batas terjauhnya, termasuk batas-batas etika konten yang belum pernah tersentuh sebelumnya.
Wajah (1968), film panjang keempatnya dan kedua yang diproduksi di luar sistem studio menjadi film radikal yang berperan sebagai "ombak" untuk ditunggangi para sutradara muda dalam bereksperimen dengan konten filmnya. Tiga nominasi Oscar yang dikantongi, membuat Hollywood kepanasan, dan pada akhirnya menggerakkan studio-studio raksasa untuk menggelontorkan dana kepada sineas-sineas independen sekaligus membuka pintu bagi sutradara-sutradara muda, aktor-aktor dan penulis pendatang baru yang belum dikenal (Steven Spielberg, George Lucas, Ford Coppola, adalah beberapa nama di antaranya). Kondisi ini terus berkembang dinamis hingga awal era 1970-an. Istilah 'Sinema Amerika Baru' pun tercetus saat itu juga, dengan melahirkan film-film yang diproduksi oleh studio besar, namun dengan konten-konten yang tadinya hanya khas milik film-film independen.kelas menengah perkotaan, dll).
Pada masa itulah, istilah dan batasan-batasan 'film Independen' menjadi semakin kabur dan tidak relevan. Muncul berbagai kerancuan yang tidak bisa dijawab. Apakah sebuah film independen masih layak disebut independen jika ada dana studio besar yang ikut mendukung? Ataukah, independen ini mengacu pada semangat yang lebih abstrak?
Meskipun setiap orang menginterpretasikan kriteria 'film independen' yang telah berevolusi secara bermacam-macam, Martin Scorcese melontarkan sebuah pernyataan publik yang mendekati ketepatan (atau paling tidak saya anggap paling mewakili) dalam pidato pembukaannya di Festival Roh Independen Film tahun 1990:
Menjadi independen bukan berarti membuat film beranggaran rendah tanpa dukungan studio... ini adalah cara untuk menjadi inovatif karena inspirasi dan juga kebutuhan.
John Cassavetes
Yang jika dibahasa Indonesiakan kurang lebih berbunyi "Menjadi independen tidak lagi berarti membuat film dengan dana kecil, tanpa dukungan dana studio (besar)... melainkan menciptakan sebuah karya yang inovatif yang sekaligus juga merupakan karya yang penting untuk dibuat."
Pada akhirnya, dengan tuntutan ekosistem, kriteria film independen akan terus berubah seiring perkembangan zaman, namun semangat independensi itu sendiri yang selalu berupaya meregenerasi ide-ide baru dan menjadi otentik itulah yang akan menjadi penilai tersendiri.
John Cassavetes, tanpa disadari, berperan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang melawan pakem industri dan kemudian membawa nilai-nilai baru untuk memperbaiki sistem industri tersebut melalui pengaruh karya-karyanya dan yang paling utama, semangat independensinya. Tidak ada kata gentar bila salah seorang sutradara menyematkan kalimat "Jangan membakar jembatan" sebagai salah satu syarat utama untuk berkarir di kancah perfilman. Cassavetes membuat industrinya sendiri, dan akhirnya membentuk wajah baru sinema modern.
Itulah John Cassavetes, sosok pelopor, mentor, juga katalisator bagi 'American New Wave' yang membuka gerbang bagi para sineas muda untuk berkarir di industri - sementara dirinya sendiri, lebih memilih berkarir di dunia independen. Tepat pada tanggal 9 Desember ini, beliau berulang tahun, dan tulisan ini saya persembahkan semata-mata sebagai bentuk kecintaan, apresiasi, sekaligus kekaguman saya terhadap beliau. Sebagai penutup dari ocehan panjang lebar yang serba terbatas ini, izinkan saya mengurutkan mozaik filmnya yang merupakan panteon untuk sinema independen sekaligus surat cinta untuk kemanusiaan.
Gloria (1980)
Sinopsis Gloria Swenson yang suka berbicara keras menyukai kehidupan solonya, tetapi ketika keluarga tetangganya dibunuh oleh mafia, dia menjadi wali yang enggan untuk anak laki-laki mereka yang masih kecil. Dengan memiliki sebuah buku yang diinginkan oleh para gangster, Gloria cukup tahu jalan untuk mengetahui bahwa dia sebaiknya keluar dari New York bersama anak itu.
Too Late Blues (1961)
Sinopsis Ghost adalah seorang musisi ideologis yang lebih suka memainkan musik bluesnya di taman untuk burung-burung daripada berkompromi dengan dirinya sendiri. Namun, ketika dia bertemu dan jatuh cinta dengan seorang penyanyi cantik, nilai-nilainya mulai berubah, saat dia meninggalkan mimpinya untuk mencari ketenaran.
Bayangan (1958)
Sinopsis Berlatar belakang New York City, sekitar tahun 1960, kisah cinta antar ras yang penuh gairah antara seorang wanita Afrika-Amerika yang cantik, Lelia, dan seorang pria kulit putih, Tony, meledak saat ia bertemu dengan saudara laki-laki penyanyi jazz Lelia yang berkulit lebih gelap, dan mendapati bahwa warisan rasial Lelia tidak seperti yang ia kira.
Seorang Anak yang Menunggu (1963)
Sinopsis Jean Hansen datang ke sebuah sekolah untuk anak-anak cacat untuk bekerja di sana sebagai guru. Dia menjadi sangat tertarik pada Reuben muda, seorang anak laki-laki autis yang orang tuanya tidak pernah mengunjunginya selama beberapa tahun. Tetapi kepala sekolah, Dr. Clark tidak menghargai minatnya yang besar.
Minnie dan Moskowitz (1971)
Sinopsis "Sebelum bertemu dengan Anda, saya pikir saya sedang dalam masalah," kata pekerja museum yang kaya raya, Minnie, kepada petugas parkir berambut gondrong, Seymour, sambil menikmati hotdog dan kopi. Itulah dasar dari cinta sejati dalam Minnie and Moskowitz, komedi romantis yang tidak biasa, namun tetap merupakan karya John Cassavetes yang murni.
A Woman Under the Influence (1974)
Sinopsis Potret kekacauan rumah tangga yang merinci kehancuran emosional seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota dan perjuangan keluarganya untuk menyelamatkannya dari dirinya sendiri. Pasangan suami istri yang sangat mencintai namun tidak mampu mengekspresikan semangat mereka dengan cara yang dapat dimengerti oleh pasangannya.
Pembunuhan Seorang Bandar Cina (1976)
Sinopsis Pemilik klub pria yang kotor terobsesi dengan kepura-puraan sebagai seorang pria terhormat meskipun tempat usahanya kumuh dan kebiasaannya yang tidak baik. Ketika dia menumpuk utang dengan sekelompok mafia, satu-satunya jalan keluarnya mengancam seluruh dunianya.
Suami (1970)
Sinopsis Kematian seorang teman yang tiba-tiba membuat tiga pria, yang sudah menikah dan memiliki anak, mempertimbangkan kembali kehidupan mereka dan akhirnya pergi bersama. Namun, antusiasme yang tak beralasan untuk mendapatkan kembali kebebasan hanya akan berlangsung singkat.
Malam Pembukaan (1977)
Sinopsis Aktris Broadway Myrtle Gordon (Gena Rowlands) berlatih untuk pertunjukan terbarunya, tentang seorang wanita yang tidak dapat mengakui bahwa dirinya telah menua. Ketika dia menyaksikan kematian yang tidak disengaja dari seorang penggemar muda yang sangat mengaguminya, dia mulai menghadapi gejolak yang dia hadapi dalam hidupnya sendiri.
Wajah (1968)
Sinopsis Ketika seorang pria paruh baya meninggalkan istrinya demi wanita yang lebih muda, wanita tersebut pada gilirannya menemukan dirinya dengan pria yang lebih muda, mencari kegembiraan dan kehangatan yang hilang dalam pernikahannya yang tidak bahagia.
Aliran Cinta (1984)
Sinopsis Film ini menggambarkan beberapa hari dalam kehidupan penulis Robert Harmon dan saudara perempuannya Sarah, dua saudara kandung yang sangat dekat dan terluka secara emosional yang bersatu kembali setelah bertahun-tahun terpisah.
Referensi
https://www.ellines.com/en/myths/39140-the-pioneer-of-independent-american-cinema/
http://www.aesthethika.org/John-Cassavetes-Shadows
https://www.moma.org/learn/moma_learning/themes/film/experimentation-in-film-the-avant-garde/
https://www.documentary.org/feature/world-cinema-film-cultural-history
https://www.encyclopedia.com/arts/culture-magazines/american-film-industry-early-1950s
Kekuasaan Kapitalis, Distribusi dan Tatanan
Sinema. James McMahon. 2014.
Singkong di atas Singkong. Ray Carney. 2001.
"Kedua Sisi John Cassavetes." Jonathan Rosenbaum. 2013.
Cassavetes, John. "Dan Mengejar Kebahagiaan" Film dan Pembuatan Film, Februari 1961.
John Cassavetes: Karya Hidup oleh Tom Charity
Film-film John Cassavetes oleh Ray Carney