Indonesia adalah negara yang ibu kotanya berada di peringkat ke-9 dalam daftar Most Dangerous Megacities for Women (2017 Thomson Reuters Foundation Poll); survei tahun 2016 yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia, change.org, dan Magdalene.co juga menemukan bahwa 2 dari 3 responden dari berbagai jenis kelamin dan seksualitas di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan seksual sebelum usia 18 tahun; dan pada tahun 2019, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)Komnas Perempuan) mencatat peningkatan 14% dalam laporan kasus, dengan total 406.178 kasus. Namun, Indonesia masih belum memiliki payung hukum yang efektif untuk mengatasi masalah ini.
Hukum di Indonesia saat ini gagal untuk mengenali sifat kompleks dari kekerasan seksual yang membutuhkan bantuan medis dan psikologis, bukan hanya bantuan hukum. KUHP saat ini hanya mendefinisikan kekerasan seksual sebagai penetrasi penis secara paksa ke dalam vagina perempuan; sementara sama sekali mengabaikan spektrum dan dampaknya yang luas, mulai dari cat-calling hingga perdagangan seks dan perbudakan.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang disebutkan di atas, masyarakat sipil telah mendorong parlemen selama empat tahun terakhir untuk segera mengesahkan RUU anti-kekerasan seksual. Namun sayangnya, masyarakat patriarkis dan sayap kanan di negara ini melihat RUU tersebut sebagai ancaman dan secara resmi dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).Prolegnas) pada bulan Juli, awal tahun ini. Hal ini menyiratkan bahwa semua kemajuan parlemen dalam RUU tersebut telah dibatalkan, meninggalkan nasib banyak penyintas kekerasan seksual dalam ketidakpastian.
Untuk mengadvokasi RUU tersebut, para seniman telah menggunakan banyak alat dan media, termasuk film sebagai cerminan dari masyarakat saat ini. Dan dari sekian banyak film yang diproduksi dan dirilis selama empat tahun masa advokasi, Posesif (2017) dan 27 Langkah di Bulan Mei (2019) menonjol sebagai gambaran yang menonjol dari spektrum variabel Indonesia dalam memahami kekerasan seksual.
Di salah satu ujung spektrum adalah Posesif dengan narasi utama kekerasan dalam pacaran di kalangan remaja. Dirilis pada tahun 2017-yang kini dijuluki sebagai Tahun Perempuan setelah gerakan anti-kekerasan seksual #MeToo-film ini meraih kesuksesan secara komersial dengan total 348.706 penonton bioskop. Sutradara Edwin memberikan kualitas visual yang sempurna pada film ini bersama dengan Ginatri S. Noer yang menyumbangkan bakatnya dalam menulis untuk film ini. Posesif menduduki peringkat ke-30 dalam daftar Film Indonesia yang Paling Banyak Ditonton Tahun Ini oleh Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, mengekor satu peringkat di belakang film komedi Ernest Prakasa, Cek Toko Sebelah (Periksa Toko Sebelah).
Sebagai sebuah film, Posesif mengenang kembali masa kejayaan film Indonesia di awal tahun 2000-an yang dipenuhi dengan film-film roman remaja. Film ini mengenang film-film seperti Ada Apa Dengan Cinta (Ada Apa dengan Cinta, 2002), sebuah film komersial yang hampir secara sendirian menghidupkan kembali industri film Indonesia karena mencapai lebih dari 2,7 juta penonton, sebuah rekor yang luar biasa setelah beberapa dekade kebanyakan film hanya mendapatkan beberapa ratus ribu penonton saja.
Seperti Ada Apa Dengan Cinta dan film serupa lainnya dalam genre romansa remaja, Posesif mengisahkan dua anak SMA yang bertolak belakang saat mereka jatuh cinta dan tumbuh bersama sebagai pribadi. Lala (Putri Marino) yang periang dan berbakat dalam bidang akademis, beradu dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang pemberontak. Perlahan-lahan dan terus menerus sepanjang film, kita melihat hubungan mereka bertunas dan perilaku Yudhis terhadap Lala semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Yudhis memenuhi hampir semua kotak yang ada dalam daftar tanda peringatan dari Break the Cycle (sebuah LSM internasional yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran akan kekerasan dalam berpacaran). Mulai dari dia yang secara obsesif memeriksa ponsel dan jejaring sosial Lala, hingga rasa cemburunya yang ekstrem terhadap siapa pun yang dekat dengannya-sampai-sampai menabrak salah satu teman dekatnya saat macet-dan memanipulasinya untuk keluar dari tim loncat indah yang dilatih oleh ayahnya. Yudhis selalu meremehkan Lala, dan emosinya akan meledak jika Lala tidak menjawab teleponnya.
Dalam film ini, kita secara bertahap melihat Yudhis mengasingkan Lala dari keluarga dan teman-temannya sampai pada titik di mana dia memintanya untuk mendaftar ke universitas di luar kota yang sedang dia daftarkan, meskipun Lala sudah memiliki universitas lain. Ketika Lala menolak perintahnya, Yudhis meledak dalam kemarahan dan menyerangnya secara fisik. Dia kemudian melarikan diri dan mengunci Yudhis di rumahnya, berteriak bahwa hubungan mereka sudah berakhir.
Setelah kejadian tersebut, hari-hari berlalu dan Lala mulai mencari bantuan dari orang-orang terdekatnya. Namun, ketika ia bercerita kepada ayahnya, ia malah mendapati ayahnya memarahi Lala karena telah membuat malu keluarga dengan melakukan hubungan seks pranikah dengan Yudhis. Realitas yang menyalahkan korban inilah yang menyebabkan para penyintas kekerasan seksual tidak suka membicarakan masalah ini. Faktanya, Survei Lentera Sintas 2016 mencatat lebih dari 90% kasus di Indonesia tidak dilaporkan.
Cerita berlanjut dan tidak butuh waktu lama bagi Yudhis untuk masuk ke rumah Lala dan meninggalkan balon-balon bertuliskan kalimat-kalimat permintaan maaf seperti 'Maafkan aku' dan tanda lain yang serupa. Lala akhirnya memutuskan bahwa sudah cukup dan pergi ke rumahnya untuk menghadapi Yudhis seorang diri, di mana kita akan bertemu dengan Posesifterjun bebas ke dalam pelupaan sebagai sebuah film yang berbicara tentang kekerasan seksual.
Dalam upaya untuk menjelaskan siklus pelecehan antargenerasi, kita diperlihatkan bahwa di rumahnya sendiri, Yudhis sang pelaku/pelaku kekerasan menghadapi pelecehannya sendiri di tangan ibunya yang masih lajang dalam sebuah rangkaian kekerasan dalam rumah tangga yang melelahkan selama beberapa menit. Namun hanya itu yang dapat kita ambil dari adegan tersebut, kita tidak diberi penjelasan lebih lanjut mengapa ibunya mengembangkan kecenderungan ini dan bagaimana siklus pelecehan tersebut dibiarkan terus berlanjut. Tidak pernah sesederhana 'pelaku kekerasan juga mengalami kekerasan', kebanyakan orang dapat mengembangkan agensi dan kapasitas individu mereka untuk membuat pilihan mereka sendiri.
Alih-alih mengevaluasi siklus pelecehan dengan benar, Posesif mengambil jalan keluar yang mudah dan memberikan alasan kepada pelaku. Film ini tampaknya hampir menyampaikan pesan "hei, tidak apa-apa jika kamu disiksa oleh pacarmu karena ibunya juga menyiksanya". Sama seperti praktik-praktik sosial yang dikritiknya, Posesif memberikan kita perspektif patriarkis tentang bagaimana seharusnya seorang penyintas kekerasan seksual bertindak. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Lala ditulis dengan sangat emosional; bagaimana ia tidak pernah berhenti untuk berpikir dan langsung bersumpah untuk menjaga Yudhis, karena nilai-nilai masyarakat konservatif percaya bahwa perempuan secara alamiah adalah makhluk yang tidak bisa berpikir. Sifat ini bisa kita lihat lebih jauh dari bagaimana Lala dengan mudah memaafkan Yudhis dan melepaskan semua yang dimilikinya untuk kawin lari dengan Yudhis, hanya dalam beberapa menit setelah melihat ibu dari pelaku kekerasan itu memukuli Yudhis.
Lala selalu digambarkan hanya memiliki rasa kebebasan semu dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri, sementara Yudhis yang mengatur semuanya. Dan konflik film ini hanya berakhir dengan Yudhis membuat satu pilihan terakhir untuk Lala, dengan meninggalkannya sendirian di antah berantah. Film ini meromantisasi bagaimana akan lebih baik baginya untuk tidak bersama Yudhis, dan jika Anda mencintai seseorang, Anda harus merelakannya pergi.
Secara ajaib, Lala berhasil kembali dan membangun kembali hidupnya. Dia bergabung kembali dengan tim selamnya dan teman-temannya terus mendukungnya. Hanya beberapa bulan setelah mengalami pelecehan selama berbulan-bulan, Lala lulus dari sekolah menengah atas dengan bahagia bersama teman-temannya. Sebuah kisah yang sangat jauh dari kenyataan, menurut Pekerjaan Pencegahan KekerasanKekerasan dalam pacaran pada remaja menyebabkan dampak psikologis yang berkepanjangan dengan para penyintas yang menunjukkan tingkat penyalahgunaan narkoba dan alkohol yang lebih tinggi; dan mereka cenderung merenungkan atau mencoba bunuh diri. Proses penyembuhan bagi para penyintas merupakan jalan berliku yang panjang dan tampaknya tak berujung. Peristiwa traumatis yang tampaknya kecil dan hanya berlangsung beberapa saat dapat meninggalkan bekas luka yang membekas hingga puluhan tahun. Lala, di sisi lain, mengalami pelecehan setidaknya selama beberapa bulan dan mampu mengatasi pengalaman itu dengan mudah tanpa menerima bantuan psikologis atau medis apa pun.
Sebagai adegan penutup, kita mengikuti Lala setahun kemudian saat ia berlari pagi di kampus. Ia melihat penampakan Yudhis di antara pepohonan, dan ia mengabaikannya sebelum melanjutkan joggingnya menuju matahari terbit. Rata-rata remaja Indonesia lulus SMA pada usia 17 tahun, yang menimbulkan pertanyaan, apakah remaja berusia tujuh belas tahun memiliki kekuatan mental dan emosional untuk melakukan semua hal yang dilakukan Lala? Untuk sembuh begitu cepat dan berdamai dengan semua yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun di usia yang mudah dipengaruhi dan sensitif di mana Anda mudah marah karena kejadian kecil seperti teman Anda membatalkan rencana Anda untuk keluar malam.
Posesif berjanji untuk mengadvokasi kekerasan seksual dan mengendarai gelombang #metoo pada akhir tahun 2017. Film ini dikemas dengan cara yang ramah bagi penonton dan meraih kesuksesan secara komersial. Namun film ini gagal mempromosikan keadilan sosial untuk kekerasan seksual, film ini tidak menunjukkan bagaimana masalah ini harus ditangani dengan baik dari sudut pandang penyintas. Film ini tidak membahas bagaimana Lala membutuhkan perawatan setelah semua yang ia alami dan bahwa seharusnya ada konsekuensi hukum atau sosial atas tindakan Yudhis. Ini adalah fenomena yang terjadi karena meskipun para pembuat film setidaknya sadar akan kekerasan seksual dan segala kerumitannya, keadilan sosial pada akhirnya dikesampingkan demi kepentingan komersil.
PosesifPrioritasnya adalah memaksimalkan keuntungan dengan biaya terendah, yang dilakukan dengan menyajikan kebenaran yang nyaman dan mudah diterima oleh penonton yang sudah mereka kenal dan dapat dikonsumsi dengan mudah sebagai hiburan. Posesif adalah sebuah kebohongan yang disepakati, kebohongan yang telah terinternalisasi dengan baik sehingga para kritikus film yang menanggapi film tersebut di media massa juga mengabaikan kebenaran yang sudah jelas demi sebuah narasi yang nyaman, dan memuji film tersebut sebagai representasi yang baik dari isu tersebut.
Ini adalah masalah yang dihadapi oleh banyak pembuat film ketika berbicara tentang isu-isu yang sulit. Ini bukan hanya kecerobohan sosial dengan beberapa pembuat film yang terlibat, ini adalah sebuah budaya yang dibiarkan melanggengkan dirinya sendiri melalui kepentingan uang. Orang-orang yang berada dalam posisi pengambilan keputusan memiliki keyakinan fanatik yang mendalam, dan para pembuat film, seperti kebanyakan pekerja, dipaksa untuk mengambil bagian dalam sistem ini dari sudut pandang kepentingan uang. Anda bisa saja berteriak sekencang-kencangnya bahwa kekerasan seksual itu buruk, tapi semua itu tidak relevan ketika gaji Anda dipertaruhkan dan Anda bukan orang yang bertanggung jawab. Pada akhirnya, representasi media yang terlibat ini tidak memberikan dampak positif pada masalah tersebut, tetapi justru memberdayakannya. Anda menunjuk ke arah masalah dan mengatakan "hei, ini keren!" Dan target audiens yang masih muda dan mudah dipengaruhi akan mempercayainya.
Di tingkat masyarakat, hal yang sama juga terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia dan opini masyarakat umum terhadap RUU tersebut. Masyarakat mungkin sudah mengetahui isu ini secara umum, tetapi selama mereka yang berada di posisi pengambil keputusan tidak melihat relevansi dari isu ini dan tetap berpegang pada keyakinan mereka yang sudah ketinggalan zaman, kita akan melihat lebih banyak kejadian serupa seperti kejadian pada bulan Juli 2020, ketika RUU ini dibatalkan dari seluruh pembahasan di parlemen tanpa sekalipun berpikir untuk berpihak pada penyintas dan mengusulkan untuk mengatasi masalah ini dengan baik.
Yang membawa kita ke sisi lain dari spektrum, dengan 27 Langkah di Bulan Mei (2019). Disutradarai oleh Ravi L. Bharwani dan ditulis oleh Rayya Makarim. Film ini mungkin tidak sukses secara komersial dengan kincir.com mencatat bahwa film ini hanya memiliki 37.654 penonton; namun, film ini menerima berbagai penghargaan termasuk Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik dan Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival. 27 Langkah di Bulan Mei mengisahkan tentang May yang diperkosa beramai-ramai pada usia 14 tahun dan sejak saat itu tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun selama 8 tahun. Dia mengikuti rutinitas yang ketat dengan hanya melakukan 27 langkah kaki setiap hari di dalam rumahnya yang tidak akan dia tinggalkan, bahkan jika rumah tetangga sebelahnya terbakar.
27 Langkah di Bulan Mei berada di garis tipis antara grafis dan puitis secara artistik dalam penyajiannya. Film ini tidak menutup-nutupi bagaimana May, sang penyintas, terdorong untuk melukai diri sendiri ketika dia mengambil pisau cukur di lengannya setiap kali ayahnya mencoba mengeluarkannya dari rumah. Film ini tidak menutup-nutupi bagaimana ayahnya sebagai pengasuh satu-satunya sangat terpengaruh secara emosional saat dia pergi ke klub-klub perkelahian ilegal di malam hari untuk menghilangkan rasa frustasinya. Dan film ini menunjukkan adegan pemerkosaan yang ditampilkan secara artistik yang cukup untuk membuat penonton menangis dan menghormati para penyintas dengan tidak menampilkannya secara vulgar dengan cara yang mengerikan.
Secara keseluruhan, butuh waktu lima tahun untuk memproduksi 27 Langkah di Bulan Mei. Para pembuat film memprioritaskan penelitian untuk memastikan bahwa mereka memiliki naskah yang ditulis dengan baik yang berpihak pada penyintas, menghormati rasa sakit mereka dan menceritakan kisah mereka seperti yang mereka inginkan. Hal ini terlihat dari bagaimana May diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Ini adalah kisahnya; dia memutuskan kapan dia keluar dari rumahnya, dia memutuskan dengan siapa dia berinteraksi, dan bagaimana dia berinteraksi dengan mereka, karena ini adalah hidupnya; bukan hidup ayahnya, atau karyawan ayahnya, atau bahkan tetangga pesulap di sebelahnya. Tujuan akhir of 27 Langkah di Bulan Mei adalah untuk menambah wacana positif pada isu ini dan untuk melawan norma-norma patriarki. Film ini mewakili segelintir penduduk Indonesia, terutama para penyintas.
27 Langkah di Bulan Mei adalah film independen, yang dibiayai bersama oleh para produser yang bersemangat yang prioritasnya bukan keuntungan komersial; ini adalah sesuatu yang harus diakui dalam membandingkan 27 Langkah di Bulan Mei dengan Posesifbahwa pada akhirnya, orang perlu mencari nafkah. Namun, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap bagaimana Posesif dan 348.706 penonton bioskop akan mendapatkan keuntungan beberapa kali lipat dari biaya produksinya, sementara para penyintas kekerasan seksual yang kisahnya diangkat tidak mendapatkan kompensasi atas penderitaan mereka. Para penyintas kekerasan seksual di Indonesia tidak berani memimpikan imbalan finansial, sementara akses mereka terhadap bantuan medis, psikologis, dan hukum yang layak masih sangat terbatas di seluruh negeri.
Seniman Banksy pernah berkata bahwa "film sangat demokratis dan mudah diakses, film mungkin merupakan pilihan terbaik jika Anda benar-benar ingin mengubah dunia, bukan hanya mendekorasinya." Itulah sebabnya mengapa representasi film atas apa yang dipikirkan oleh masyarakat Indonesia sangatlah penting. Dalam keadaan darurat, seperti halnya dengan kekerasan seksual di Indonesia, tugas seorang pembuat film bukanlah untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada, tetapi untuk terus berusaha menerobos semua itu dan memberikan suara kepada mereka yang terbungkam, menambah perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan dalam jangka panjang.
Sumber daya
Adam, Aulia. "Posesif: Anatomi Hubungan Beracun Dan Kekerasan Domestik." Tirto.id. Terakhir diubah 5 November 2017. https://tirto.id/posesif-anatomi-hubungan-beracun-dan-kekerasan-domestik-czBD.
Adisya, Elam. "Rayya Makarim Dan Tema Kekerasan Seksual Dalam Film Indonesia." Magdalene - Publikasi yang berfokus pada perempuan dengan perspektif feminis. Terakhir diubah 10 Mei 2019. https://magdalene.co/story/rayya-makarim-tema-kekerasan-seksual-dalam-film-indonesia.
Hasan, Akhmad M. "27 Langkah Mei: Trauma Pemerkosaan Itu Kepedihan Awet Nan Depresif." Tirto.id. Terakhir diubah 20 April 2019. https://tirto.id/27-steps-of-may-trauma-pemerkosaan-itu-kepedihan-awet-nan-depresif-dmKz.
Sagala, R. V. "'Kesulitan' Seputar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual." The Jakarta Post. Terakhir diubah pada 4 Juli 2020. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/07/04/difficulties-surrounding-sexual-violence-eradication-bill.html.