Bengawan Solo: Bagaimana Lagu Folk Indonesia menjadi Zeitgeist Asia Pasca-Perang Dunia II

Ini adalah versi Bahasa Indonesia dari artikel saya Bengawan Solo: Bagaimana Lagu Rakyat Indonesia Menjadi Zeitgeist Asia Pasca-Perang Dunia II diterjemahkan oleh Gregorius Ragil dari Studio Batu dan peneliti di departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada dan Hartmantyo Pradigto dari Studio Malya. Selamat menikmati artikelnya.

Catatan Penerjemah
Penerjemahan tulisan Bondan Syamsu ke dalam bahasa Indonesia bertujuan untuk menghadirkan ingatan kolektif mengenai dekolonisasi sejarah Indonesia secara lebih akrab. Ingatan kolektif yang tidak hanya tertuju pada peristiwa politik masif seperti Konferensi Asia-Afrika (KAA). Akan tetapi, juga menekankan pada konstelasi musik folk dan langgam keroncong yang hadir semenjak awal abad ke-16 dan meraih popularitas di Hindia Belanda menjelang zaman revolusi (1940-1945). Pada posisi tersebut konstelasi musik dalam analisa sejarah non-linear mampu mendorong ingatan kolektif untuk menggagas relevansi dan kontekstualisasi dekolonisasi di Indonesia. Terdapat beberapa tambahan redaksional yang dibubuhkan pada teks bahasa Indonesia. Tambahan tersebut dimaksudkan untuk menghadirkan detail dan mempertajam akurasi dari tulisan Bondan Syamsu, selain juga turut mengikuti kaidah-kaidah kebahasaan secara kontekstual. Akhir kata, selamat membaca!

===========================================================================

zubiyan:SELO:2.jpg
In The Mood for Love (2000) disutradarai oleh Wong Kar-Wai.

Pengalaman pertama menonton "In The Mood for Love"karya Wong Kar-Wai yang begitu melankolis-juga merupakan pertama kalinya saya mendengar "Bengawan Solo" di film atau media luar negeri. Pengalaman yang janggal dan mengejutkan. Sebelum menyelesaikan tulisan ini, saya sepenuhnya abai pada pengaruh lintas batas yang dimiliki lagu-lagu rakyat Indonesia. "Bengawan Solo" yang dimainkan dalam "In The Mood for Love" bukanlah versi awal mula Gesang dan bahkan tidak pernah dinyanyikan di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia. Versi yang digunakan Wong Kar-Wai dinyanyikan oleh penyanyi Hong Kong, Rebecca Pan, dalam bahasa Inggris dan disertai lirik yang merefleksikan narasi birahi cinta dan kerinduan dalam "In The Mood for Love" yang juga disandingkan dengan perselingkuhan. Meskipun lagu ini bercerita tentang sebuah sungai di Solo, [Jawa Tengah dan][1] Jawa Timur, ada rasa yang berakar pada perjuangan subtil di Zaman Kolonial yang kemudian berkembang menjadi lagu cinta lintas batas. "Bengawan Solo" diterjemahkan menjadi "Sungai Cinta", sebagaimana kebanyakan orang luar negeri menyalinnya. Akan tetapi, pendengar luar negeri tidak memahami lagu tersebut hanya sebagai sebuah kisah percintaan, tetapi juga dipahami sebagai sebuah tema tentang "apa-yang-seharusnya-menjadi-milik-kita" bagi para penjajah yang membawa pulang lagu tersebut setelah perang usai.

zubiyan:SELO:3.jpg
Stray Dog (1949) disutradarai oleh Akira Kurosawa, menampilkan Toshiro Mifune dan Takashi Shimura.

Kedua kalinya saya mendengar "Bengawan Solo" dalam sebuah film luar negeri bersamaan dengan aktivitas saya menonton film-film legendaris Akira Kurosawa secara maraton beberapa tahun yang lalu. "Anjing Liar" (1949) merupakan kecerdikan Kurosawa dalam menggarap genre film noir detektif dan mungkin saja merupakan film pertama kali yang menggunakan "Bengawan Solo" sebagai salah satu soundtrack. Keterlibatan dari penggunaan "Bengawan Solo" pada masa pasca-Perang Dunia II dalam film Jepang sangatlah signifikan. Keterlibatan tersebut tidak sesederhana sebagaimana lagu-lagu luar negeri menjadi populer melalui pengimporan musik secara luas, namun lebih kepada "sesuatu" yang mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Untuk memahami signifikansi tersebut, kita perlu menelaah sejarah yang melatarbelakangi penciptaan lagu-lagu tersebut.

Konsepsi Bengawan Solo

zubiyan:SELO:4.jpg
Gesang Martohartono (1917-2010), Penggubah Bengawan Solo.

"Bengawan Solo" ditulis dan dinyanyikan pertama kali oleh Gesang Martohartono pada tahun 1940, beberapa saat sebelum invasi Jepang selama tiga tahun dari tahun 1942 hingga 1945. Lagu tersebut menjadi signifikan karena menjadi lagu berpengaruh pertama yang ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia, ketika pembaruan bahasa dan keberlanjutan kemerdekaan dari penjajahan Belanda hanya menyisakan Indonesia dalam kondisi putus asa sehingga membutuhkan simbol persatuan nasionalisme. Sementara lirik tertuju pada sebuah sungai di Solo, irama lagu membawa citra dari sebuah imajinasi, meliputi keseluruhan tanah air, yang dapat diterjemahkan secara konseptual sebagai "tanah dan air". Langgam "Bengawan Solo" merupakan gema dari sebuah aliran sungai dengan melodi yang mengalunkan hembusan nostalgia ke dalam jiwa seseorang dan tetap dapat dirasakan terlepas dari versi lagu "Bengawan Solo" mana saja yang kamu dengarkan.

Dampak dari lagu sebagai simbol nasionalistik tidak hadir secara tiba-tiba. Slogan propaganda Jepang "Asia untuk Warga Asia" dan suksesi "Kesenian Asia untuk Warga Asia" merupakan kebijakan kultural yang didesain untuk disebarluaskan di Asia Raya.[2] dengan sensor literatur yang ketat yang disetujui sesuai narasi mereka. Namun, meski masih ditindas secara kejam oleh penjajah baru setelah Belanda, penduduk Indonesia pada akhirnya diberi ruang untuk merefleksikan identitas kolektif mereka. Oleh karena muatannya yang berisi pesan kemegahan lanskap lokal, "Bengawan Solo" dirasa sejalan dengan slogan "Kesenian Asia untuk Warga Asia". Mungkin yang menjadi ironis adalah ketika tiba-tiba upaya Jepang memberdayakan penduduk lokal untuk menyihir ingatan kolektif tentang ruang yang mereka jalani justru menghasut kerinduan untuk merdeka dari pada menyatukan diri dengan imperium Asia sebagai penjajah yang paling dipandang. 

Langgam awal mula "Bengawan Solo" juga merupakan lambang bagi pencarian simbol nasional pasca-Perang Dunia II. Langgam musik kroncong pada awal mulanya dipertunjukkan sebagai penggabungan interaksi antara Indonesia-Portugis pada awal abad ke-17 sekaligus juga menggambarkan elemen kebudayaan Tiongkok dan Arab. Hal itu menjadi alasan para pemimpin kebudayaan Indonesia pada masa itu telah bersepakat bahwa di dalam genre kroncong melekat semboyan "persatuan dalam perbedaan" (Bhinneka Tunggal Ika) sebagai esensi kebudayaan Indonesia. Dalam pengapsulan keberagaman budaya Indonesia, terdapat kesadaran nostalgia universal tentang kejayaan yang dibayangkan melalui musik kroncong, yang saya yakini memiliki efek tidak hanya pada wilayah tempat musik tersebut diciptakan, tetapi juga Asia yang luas sebagai lokasi bertemunya kebudayaan bangsa Asia lainnya. 

Persebaran lagu tersebut ke penjuru negara Asia bukan semata-mata karena peran warga asing yang membawa lagu tersebut ke kampung halaman mereka masing-masing. Presiden Soekarno pada saat itu merasa perlu untuk menekankan peranan nasional lagu "Bengawan Solo" tersebut dan mengamanatkan stasiun radio seperti Radio Republik Indonesia (RRI), untuk menyebarkan lagu tersebut dari desa ke desa, kota ke kota. Beliau juga menginstruksikan para duta besar Indonesia di luar negeri untuk mempromosikan lagu tersebut sepanjang tahun 1950an, yang mungkin dapat menjelaskan jangkauan di negara-negara Asia lainnya. 

Menjepangkan Bengawan Solo

Meskipun demikian, pemerintah Jepang di masa penjajahan Indonesia merupakan pelaku utama dalam penyebarluasan "Bengawan Solo". Ichiroo Fujiyama membawa transkrip notasi dan lirik lagu tersebut ke Jepang pada tahun 1944, yang kemudian diproduksi menjadi gubahan baru oleh Toshi Matsuda tiga tahun setelahnya (1947)[3]. Dengan segera, "Bengawan Solo" menjadi populer di kalangan veteran perang yang belum lama pulang dari medan laga. Lagu itu mengingatkan mereka pada tanah jajahan. Menariknya, pesan autentik dari "Bengawan Solo" tentang kerinduan pada "kesederhanaan" Indonesia segera digantikan oleh sentimen imperialisme nan militeristik[4]. "Bengawan Solo" versi Jepang tetap mempertahankan notasi asli, namun tidak sepenuhnya mengadopsi tema yang diangkatnya, oleh karena kepentingan untuk menyembunyikan kebrutalan perang demi gambaran atas "apa-yang-seharusnya-menjadi-milik-kita"-lukisan keriaan tropis tanah Jawa trofi yang gagal mereka genggam. Konsep-konsep semacam ini diilustrasikan dengan bernas pada video klip "Bengawan Solo" versi Jepang serta sisipan lagu yang sama pada film Suatu Sore di Musim Gugur (1962) karya Yasujirō Ozu. 

Video Klip Bengawan Solo Versi Jepang (ブンガワン・ソロ).

Video klip tersebut disusun ulang dari potongan gambar film Ichikawa Ron yang berjudul "Aliran Sungai Solo" (1951), yang salinannya tidak berhasil saya dapatkan sampai proses penggarapan tulisan ini. Dalam video itu tergambar-seperti yang telah diutarakan beberapa orang-hubungan ala "Pocahontas" antara gadis Indonesia dengan pria Jepang. Sementara si lagu jelas-jelas bicara soal Sungai di Solo, [Jawa Tengah dan] Jawa Timur, rekam gambar justru menampilkan kebudayaan dan tradisi Bali. Selain proses Balinisasi atas Bali-yang menunjukkan apropriasi secara bertahap atas identitas Bali agar sesuai dengan tatapan eksotis turis asing atas daerah yang dituju (hal ini mungkin yang menjelaskan penggunaan tradisi Bali dalam video, alih-alih menampilkan kebudayaan Jawa secara lebih akurat)-Bengawan Solo versi Jepang (ブンガワン・ソロ) juga menyiratkan eksotisasi Indonesia, dalam derajat tertentu, yang menyembunyikan tirai mentalitas penjajah sebagai karakter Kekaisaran Jepang pada waktu itu. Lagi pula, propaganda perang militer Jepang di daerah jajahan Asia Tenggara kerap menampilkan janji-janji kemerdekaan dari kekuatan imperialisme barat sembari menawarkan keuntungan berada di bawah kepemimpinan mereka. Dengan kata lain, watak demikian menjadi semacam Beban Whiteman versi Jepang yang berhasrat untuk memajukan apa yang mereka lihat sebagai bangsa yang tidak beradab, di bawah kepemimpinan Jepang yang industrial dan beradab dalam payung visi mereka menuju Asia yang bersatu.

zubiyan:SELO:6.png
An Autumn Afternoon (1962) Disutradarai oleh Yasujirō Ozu.

Terkait karya gemilang Ozu, saya ingin menyoroti salah satu situasi di film "Sore di Musim Gugur" (1962). Dalam sebuah adegan-yang hadir tepat ketika "Bengawan Solo" instrumental selesai diputar-terlihat seorang mantan Kapten dari satuan militer Jepang dan seorang bekas prajuritnya. Jika tidak disengaja oleh Ozu, maka sisipan lagu sebelum adegan ini akan menjadi kebetulan yang menarik, terutama bila dikaitkan dengan obrolan antara kedua veteran perang tersebut.   

Sakamoto: "Kapten, jika Jepang menang perang, bagaimana keadaan hari ini?"

Hirayama: "Saya membayangkan..."

Sakamoto: "... jika kita menang, kita berdua akan berada di New York sekarang. Dan bukan Rumah Judi Pachinko yang bernama New York. Tapi New York yang sesungguhnya!"

Hirayama: "Begitu?"

Sakamoto: "Pastinya. Karena kita kalah, bocah-bocah itu akan menari-nari dan menggoyang pinggul sambil mendengar lagu Amerika. Tapi, jika kita menang, orang-orang bermata biru akan mengepang rambutnya dan mengunyah permen karet sambil mencabik-cabik Shamisen[5]."

HiRayama: "Tapi, bagiku memang lebih baik kita kalah."

Sakamoto: "Ohya? Ya .... Mungkin Anda benar. Militer dungu tidak bisa merundung kita lagi."

Adegan tersebut mengambil tempat di sebuah bar sebagai lokasi reuni antara dua orang veteran, ketika alkohol memperkuat kerinduan mereka akan masa-masa Jepang berada di tengah perang. Saya yakin Ozu memaknai adegan tersebut sebagai penolakan atas nostalgia masa perang dan keinginan untuk menguasai daerah koloni-yang diperlihatkan melalui khayalan Sakomoto (Daisuke Katō) tentang bagaimana kehidupan mereka jika Jepang menang perang. Balasan Hirayama (Chisū Ryū) di akhir terasa ambigu, "baik" di sini bisa dimaknai entah sebagai gambaran pembebasan warga Jepang dari derita perang atau sebagai simbol bahwa koloni tidak harus menderita lagi di bawah pemerintahan Jepang. Bagi saya, sisipan "Bengawan Solo" dalam film ini mewakili pilihan yang kedua, meski terasa sangat halus. 

Bengawan Solo sebagai Lagu Pan-Asia Timur/Asia Tenggara

Di luar Jepang, pengaruh "Bengawan Solo" dapat dirasakan hampir di seluruh Asia setelah Perang Dunia II. Di titik inilah lagu tersebut menjadi penanda semu esensi identitas masyarakat Asia, terutama bagi bangsa-bangsa yang berada di bawah takdir kolonial seperti Indonesia. Namun, secara bersamaan, kita juga menyaksikan terjemahan "Bengawan Solo" yang secara acapkali menarasikan cerita tentang Sungai dari [Jawa Tengah dan] Jawa Timur sekaligus kisah cinta dua sejoli, semata-mata untuk membuatnya dekat bagi bangsa lain dalam proses lokalisasi. 

Misalnya, "Bengawan Solo" versi Hong Kong-yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris oleh Rebecca Pan dan digunakan dalam "Dalam Suasana Hati untuk Cinta" karya Wong Kar Wai-mencitrakan ulang gambaran sebuah sungai tempat para pecinta bertemu dan berbaur. Meski demikian, tidak seluruh maknanya hilang bahkan dengan perubahannya menjadi lagu cinta. Lagi pula, kedalaman rasa rindu atas hari lalu tetap masih bisa dirasakan lewat versi ini. Hong Kong tahun '60an-dekade ketika versi Rebecca diluncurkan-sedang mengalami perubahan pesat dari kondisi lumrah menuju industrialisasi metropolitan dan tradisional, langgam ala rakyat seperti Bengawan Solo menjadi lagu yang pas untuk mengingatkan masa-masa yang hadir sebelumnya.https://www.youtube.com/embed/OsMKQGt4ht8?feature=oembed&wmode=opaque

Bengawan Solo versi Bahasa Inggris dinyanyikan oleh Rebecca Pan, solois asal Hong Kong.

"Bengawan Solo" juga tersedia dalam versi lain termasuk versi Kanton, Burma, Tagalog, Thailand, Mandarin, dan Vietnam. Versi-versi tersebut telah mengalami lokalisasi dan interpolasi ke dalam identitas nasional mereka, seolah-olah melupakan asal-usulnya dari Indonesia. Hal ini menjadi gejala yang hampir serupa dengan versi Jepang sebelum pengacara dari Indonesia membawanya ke meja hijau pada tahun 1990, yang kemudian mengukuhkan hak intelektual Indonesia atas "Bengawan Solo" pada saat itu. Di sisi lain, sementara saya berpendapat bahwa pengakuan yang pantas bagi Gesang dan atas orisinalitas Jawa dari "Bengawan Solo" sangatlah penting, Adopsi yang mengalir ke dalam berbagai kebudayaan dan bahasa telah membuka kecerdasan serta ruh lagu itu dan menjadikannya sebagai salah satu karya seni yang dapat dikatakan sebagai Zeitgeist Pan-Asia pasca Perang Dunia II. Lagu ini tidak hanya berisi perjuangan Asia Tenggara menuju kemerdekaan dan kemandirian, namun juga ringkas, membawa harmoni alam yang dapat dengan mudah diadopsi oleh kebudayaan manapun dan tetap berbicara jujur tentang kondisi kemanusiaan pada masing-masing ruang yang saling bertalian satu sama lain.

Catatan akhir

[1] Tambahan Penerjemah dan Editor.
[2]  Konsep invasi kemakmuran ekonomi dan kebudayaan ke negara-negara Asia di bawah imperum Jepang pada Perang Dunia II. Lihat Yellen, Jeremy A. (2019). Asia Timur Raya, Lingkungan Kemakmuran Bersama; Ketika Kekaisaran Total bertemu dengan Perang Total. Ithaca & London: Cornell University Press. 
[3]  Ichiroo Fujiyama adalah musisi asal Jepang. Toshi Matshuda adalah penyanyi dari negara yang sama. Lihat, Kartomi, Margaret, 'The Pan-East/Southeast Asia and National Indonesian Song Bengawan Solo and Its Javanese Composer', Buku Tahunan Musik Tradisional, 30, 1998, hal. 85-101. 
[4]  Selain elemen lirikal, watak musikal juga diadopsi pada gubahan versi Jepang dengan melibatkan Gunka (mars militer) sebagai elemen pembentuk rima. 
[5] Gitar Jepang.

Referensi

Kartomi, M. (1998). Lagu Indonesia Pan-Timur/Tenggara dan Nasional Bengawan Solo dan Penggubahnya dari Jawa. Buku Tahunan Musik Tradisional, 30, 85. doi: 10.2307/768555 

===============

Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gregorius Ragil dan Hartmantyo Pradigto.

id_IDBahasa Indonesia
%d blogger seperti ini: